Jejak Minyak Bumi di Indonesia

Kesejarahan minyak bumi di Indonesia dimulai pada penjajahan Hindia Belanda tahun 1871. Pada saat seorang pedagang Belanda di Cirebon, Jan Reerink adalah orang pertama yang melakukan eksploitasi minyak di Indonesia (dulu Hindia Belanda). Tepatnya di sumur di Cibodas, sebuah desa dekat Majalengka dan Kadipaten, di kaki gunung Cireme, namun upaya itu gagal. Kemudian ia melakukan pengeboran di Desa Panais, Majalengka, Cipinang dan Palimanan, dengan menggunakan tenaga uap yang didatangkan dari Canada, menghasilkan minyak yang sangat kental disertai dengan air panas yang mancur setinggi 15 meter. Ditempat terpisah pada tahun 1880 Aeiko Jans Zijker, seorang petani tembakau dari Belanda yang pindah dari Jawa ke Sumatra menemukan minyak di Langkat. Minyak tersebut merembes ke permukaan, kemudian minyak yang sudah menguap tersebut dibawa ke Jakarta (dulu Betavia) untuk dianalisis. Setelah dinyatakan potensial diproduksi, minyak tersebut kemudian dieksplotasi dan dilakukan penyulingan hingga akhirnya minyak tersebut 59 persennya digunakan untuk penerangan.[1]
Dalam perjalanannya, pengelolaan kontrak minyak dan gas Indonesia secara subtasi dapat digolongkan kedalam dua bentuk, yaitu kontrak konsesi dan kontrak bagi hasil atau lebih dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC). Bentuk kontrak yang pertama atau kontrak konsesi terjadi sejak zaman sebelum kemerdekaan RI hingga tahun 1960. Kemudian pada tahun 1960 hingga 1966 pemerintah sempat memberlakukan sistem kontrak karya. Tetapi sejak tahun 1966 kontrak kerja sama migas yang berlaku hingga sekarang adalah kontrak bagi hasil atau dikenal dengan Production Sharing Contrac (PSC). Dan dalam perkembangannya nanti kontrak PSC ini mengalami beberapa perubahan atau penyesuaian; terutama terkait dengan biaya operasi (Cost Recovery). Fiscal Term dan paket insentif. Rekam jejak minyak dan gas di Indonesia mengalami perubahan sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang disahkan pada tanggal 23 Novmber 2001. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 2001 tersebut, sejumlah peraturan perundang-undangan dinyatakantidak berlaku. Undang-undang tersebut misalkan, UU No. 44 tahun 1960 tentang pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU No. 15 tahun 1962 tentang penetapan PERPU No. 2 tahun 1962 tentang kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, UU No. 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut segala perubahannya, terakhir dengan UU No. 10 tahun 1974.[2]
Saat ini Indonesia terpaksa mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) sampai ratusan ribu barel per hari. Impor tersebut tak lain untuk menutu kesenjangan produksi dengan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat mencapai 1,3 juta barel per hari. Dibanding dengan produksi saat ini berdasar data BP Migas, jelas terlihat produksi dalam negeri tak lagi mampu memenuhi konsumsi dalam negeri.
Gambaran suram perminyakan negeri ini jadi semakin nyata jika menyimak data dari Asosiasi Perminyakan Indonesia (Indonesia Petroleum Association, IPA). Data itu menyebutkan potensi cadangan minyak yang tinggal 4,5 miliar barel, diperkirakan cadangan itu akan habis dalam kurun 10 tahun, dengan asumsi tidak ada eksplorasi cadangan. Setelah ditemukan dan siap diproduksinya beberapa sumur di Blok Cepu, khususnya di lapangan Banyu Urip, Bojonegoro, kemungkinan untuk mendongkrak produksi harian minyak mentah Indonesia kembali terbuka.

Seperti yang telah disampaikan oleh pemerintah pusat, jika proses produksi lapangan Bayu Urip sudah berjalan, diharapkan produksi hari minyak mentah Indonesia mencapai kembali batas diperbolehkannya masuk sebagai anggota OPEC, yakni 1,4 juta bopd, dimana hingga 185.000 bopd berasal dari blok Cepu.[3] 

Dipandang dari sisi teknologi, perlu diingat bahwa pencapaian produksi harian sebesar 185.000 bopd memerlukan technical knowhow yang sangat besar. Dilihat dari status jumlah cadangan terbukti dan potensi yang ada di Blok Cepu (khususnya di lapangan Banyu Urip), jumlah ini merupakan PPR yang akan 2-3 tahun pada saat awal pekerjaan produksi dan pengembangan; untuk kemudian akan menurun lagi dalam masa 4-5 tahun setelah terjdinya PPR. Laju seperti ini dikenal dalam dunia industri hulu migas sebagai laju Hubbert, atau kurva Hubbert.

Oleh karena itu sudah menjadi kemestian bahwa pengelolaan sumber daya migas mempertimbangkan aspek-aspek teknis, visi masa depan dan analisa resiko. Disuatu sisi dalam pengelolaan migas di Indonesia, lebih khusus di Blok Cepu sangat dibutuhkan keterbukaan dari pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Blok Cepu dan Pemerintah sebagai bagian kontrak kerja. Komitmen lain yang tak kalah pentingnya adlah menjamin   kegiatan ekspoitasi tetap mempertimbangkan pengelolaan lingkungan dan massyarakat sekitar.

         [1]    Aminullah, M. Nasyih. “Sejarah Minyak Bumi di Indonesia”. 24 Maret 2010, hlm 5 
        [2]    ICW sebuah artikel, “Monitoring Industri Minyak dan Gas Indonesia, “Krisis Aspek Legal dan Finansial”. Laporan ahir; 2010, hlm 4
         [3]    Ibid





Share: