(Obrolan) Semester Lima

Gimana kabar gaes. Lama nih gue kagak blogging, nulis sih tetep, tapi bloggingnya yang kesendat mulu, ada aja kendala buat mostingnya. Secara lagi males keluar kos buat nyari Wiffi gratis, hhahaa
Beda lagi kalo pas gue dirumah yaa, ada Wiffi dirumah yaa rajin bloggingnya. Kalo lagi udah balik ke Semarang, fyuuh. . . nyabar dulu buat rajin blogingnya.
Sebenarnya postingan ini udah minggu lalu gue selesai nulisnya, yaa lagi sempet aja mosting nihh, mumpung. Hhaha
Yupz, semester Lima!!! Masih Sehat??? Dan yang mau menginjakkan di semester Lima, Udah Siaap nggak tuh??
Semester lima. Ada yang bisa kasih kata yang tepat untuk dua kata ini? Selama berselancar di dunia maya, kepo-kepo sosmed teman-teman seangkatan, mereka pasti nulis kayak gini nih : “Semester lima, semester dimana pengen cari jodoh cepet-cepet”, “Ya Allah, baru seminggu kuliah raso pengen cepet nikah bae”, “Wake me up when semester 5 ends”, dan masih banyak lagi. Au kayak gini juga? HAHAHAHA iya, sama *garuk-garuk dinding*.
Bukan tanpa alasan kegalauan mahasiswa semester 5 semakin naik dibanding semester sebelumnya
Semester 5, semester dimana kita bertemu tugas besar.
Di semester lima ini, mahasiswa pasti disuguhkan dengan tugas-tugas besar yang selalu dipantau tiap minggu oleh dosen. Kalau di jurusan sistem informasi, pasti tidak pernah lepas dari analisis, perancangan database, perancangan interface, buat data flow diagram, buat ishikawa diagram, dan masih banyak lagi. Setiap minggu tugas pasti selalu di update oleh dosen, sehingga kita juga ekstra belajar untuk mencapai target penyelesaian tugas besar. Bukan satu atau dua mata kuliah yang punya tugas besar, tapi bisa lebih dari tiga tugas besar yang kita dapat semester ini. Kebetulan gue mengambil 9 mata kuliah di semester ini dan lima dari sembilannya ada tugas besar. Banyak? Iya banget, kalau kegiatan menangis bisa menghasilkan uang, mungkin sudah jadi milyader kali ya hahaha. Jangan terlalu banyak berpikir, mulailah bertindak. Tugas besar bukan berarti hanya kita yang mengerjakannya, bagi-bagi tugas ke teman satu kelompok kalian. You’ll never walk alone guys, itulah guna berkelompok dalam mengerjakan tugas. Selain itu, jangan lupa untuk menargetkan deadline pengerjaan tugas. Tugas besar akan semakin membesar kalau kita selalu menunda pengerjaannya. Pada akhirnya, kita akan buru-buru mengerjakan tugas, tidur cuma 3 jam sehari, mata panda, dan yang lebih buruk lagi tugas besar kita menjadi tidak berbobot dan terkesan biasa-biasa saja.

Kalo sudah masuk semester 5, berarti sudah harus mempersiapkan ‘bekal’ menuju semester yang akan datang.
Pada saat kelas kami pertama kali belajar di semester lima, ada salah satu dosen bertanya seperti ini, “Kalian sudah masuk semester 5 ya? Sudah berapa banyak pelajaran yang kalian dapat? Sudah menguasai semua materi kuliah untuk persiapan skripsi? Sudah berapa juta yang orang tua kalian keluarkan untuk membayar UKT ? “. Kami semuanya diam, cuma bisa bergumam dan menundukkan kepala. Kita semua baru menyadari bahwa ‘bekal’ yang kita siapkan tidak cukup untuk perjalanan kita. Tidak mungkin kita menahan ‘lapar’ saat tiba di tujuan kita dan sangat tidak mungkin lagi untuk kembali ke tempat asal kita mengingat sudah banyak waktu yang telah kita habiskan. Untuk itu, baiknya kita menyiapkan ‘bekal’ yang mencukupi kebutuhan kita selama di perjalanan. Beruntunglah bila kalian adalah mahasiswa baru, masih banyak waktu untuk mempersiapkan ‘bekal’, bagaimana dengan mahasiswa tingkat dua dan tiga yang kekurangan ‘bekal’? salah satunya adalah jangan pernah menolak teman yang berbagi ‘bekal’ dengan kalian. Memang ada beberapa teman membawa ‘bekal’ yang sangat banyak tapi tidak mau berbagi, tetapi ada juga teman yang selalu berbagi ‘bekal’ dan tak  pernah takut untuk kehabisan ‘bekal’. Ambillah kesempatan yang ada, sekecil apapun itu.

Sudah menjadi mahasiswa semester 5, berarti tinggal satu tahun lagi menyandang status ‘mahasiswa’ dan sudah harus memikirkan planning setelah lulus kuliah.
Selama kuliah ini, pernahkah kalian membuat planning untuk lima atau sepuluh tahun kedepan? Selain memikirkan tugas, kita pasti pernah terlintas membayangkan seperti apa kita setelah lulus kuliah. Kita pasti punya impian dan target yang ingin kita capai saat kita masuk ke dunia kerja. Mungkin ada yang berkeinginan untuk bekerja di perusahaan BUMN, menjadi entrepreneur, mengejar beasiswa ke luar negeri, atau melanjutkan kuliah S2. Sah-sah saja bila kita memiliki impian dan target pencapaian yang banyak, tapi jangan lupa untuk membuat perencanaannya. Ibarat kita ingin membuat kue, kita tahu bahannya apa saja tetapi kita tidak tahu bagaimana langkah-langkah pembuatannya. Alhasil, impian hanya sebatas impian. Impian harus ditulis dan ditempel di depan meja belajar supaya kita tahu apa yang sedang kita kejar dan yang kita perjuangkan. Dengan demikian, kegalauan yang melanda kita bisa kita kurangi secara perlahan.
Jadi, sudah siap menyandang status ‘mahasiswa semester lima’?

Share:

Mengenang Wafatnya Soe Hok Gie; "Seharusnya Berkali-kali"

“saya katakan bahwa kita bisa hancur karena tekanan tekanan hidup, tetapi kita tidak akan pernah terkalahkan.” (Soe Hok Gie: Dikutip dari ‘Catatan Seorang Demonstran’ Hal 426)
"Sebatang pohon oak, nicaya dapat bertahan ketika dihatam oleh topan maha dahsyat sekalipun, namun serumpun bambu akan oleng dan hilang keseimbangan meski hanya diterpa angin semilir"
Soe Hok Gie, ikon gerakan Mahasiswa angkatan 66, telah menisbikan dirinya menjadi pohon oak itu. Kendati kesendirian, ancaman dan pengkhianatan dialamatkan padanya, ia tetap kukuh bertahan di atas rel perjuangan yang diyakininya benar. Masa masa sulit ditempuhnya penuh ketabahan hingga ia tutup usia di puncak gunung semeru setelah menghisap gas beracun. Sosoknya kemudian melenggenda, terutama dikalangan pemuda yang rindu akan munculnya ‘pemimpin ideal’ di tengah krisis keteladanan saat ini.

Ternyata Dokter Curhat
“Saya dilahirkan pada 17 Desember 1942 ketika perang sedang berkecamuk di Fasifik”,
demikian ungkap Hok Gie dibagian awal buku hariannya. Sosok yang akrab dipanggil Cina kecil ini, adalah putra dari Soe Lie Piet, novelis sekaligus Wartawan Sunday Courrier dan Nio Hoei An, seorang ibu rumah tangga sederhana namun penuh dedikasi dalam membesarkan kelima anaknya (Dien, Mona, Arif, Gie dan Siane). Semula Hok Gie kecil bersekolah Sin Hwa, sekolah Tionghoa berbahasa Inggris, kemudian pindah ke Sekolah Rakyat (SD saat ini) yang berlokasi di Gang Komandan, kini terletak dibelakang Pengadilan Negri Jakarta Pusat.

Menginjak SMP, ia bersama kakaknya Arif Budiman mendaftar ke Kanisius, namun hanya Arif yang diterima sementara Hok Gie tidak. Iapun memilih SMP Strada. Pergaulannya mulai luas karena ia dapat berbaur dengan dengan kawan-kawan yang datang dari beragam strata sosial dan ekomomi. Baru saat SMA ia kembali satu almamater dengan kakaknya di Kanisius. Begitupun ketika memasuki masa perkuliahan. Mereka berdua diterima di Universitas Indonesia. Bedanya Hok Gie masuk fakultas sastra jurusan sejarah sedang Arif memilih fakultas Psikologi.

Berbeda dengan kebanyakan remaja baik pada zamannya ataupun masa kini, Soe Hok Gie telah ‘melek sosial’ sejak dini. Buku buku bermutu karya Mochtar lubis, George Orwell, Shakespeare dan lain lain telah memengaruhinya untuk menjadi pribadi humanis, jujur, berani mengabil risiko. Hal ini tercermin pada catatan hariannya. Saat diperlakukan tak adil oleh seorang Guru sewaktu SMP, Hok Gie menulis,
“Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumi ku 8 tapi dikurangi 3 jadi 5. Aku iri dikelas karena merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidak-tidaknya aku yang terpandai dalam ilmu bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, turun hati, lalu mengeras bagai batu. Kertasnya aku buang. Biar aku di hukum. Aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” Atau ketika mengggugat kemapanan. Setelah memberikan uang pada seorang pemakan kulit mangga, ia menulis,“Aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah makan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai nampak di Ibu Kota. Dan kuberikan Rp 2.50 uangku. Uangku hanya 2.50 waktu itu. Ya dua kilo meter dari pemakan kulit, paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, maka-makan dengan istri-istrinya yang cantik…… aku bersama mu orang-orang malang”
Lulus dari Kanisius, Soe Hok Gie memasuki lingkungan kampus dengan semangat full. Ia bukan hanya dikenal sebagai kutu buku yang rajin menderas bacaan bacaan berat namun juga aktif berdiskusi, berorganisasi dan naik gunung, salah satu hobi yang paling digemarinya. Aktifitasnya tak lepas dari kegiatan kegiatan sosial. Orang yang belum pernah berjumpa atau membaca kisah hidupnya akan menganggap kalau Hok Gie yang terkenal karena tulisan-tulisan tajamnya itu, adalah sosok adalah sosok berbadan tegap dengan dengan tampilan muka garang. Namun tak demikian kenyataanya. Secara fisik ia berbadan kurus (lebih tepat kerenpeng) dan cara memunyai cara berjalan yang unik seperti dapat kita lihat dalam film GIE hingga dapat membuat kita tersenyum kecil.

Secara sosial Di mata kawan kawan kuliahnya ia adalah pribadi menyenangkan, terbuka dan selalu siap membantu siapapun yang sedang mengalami masalah. Hal tersebut disampaikan oleh Kartini Sjahrir. Dalam suratnya pada Hok Gie, Ker (panggilan akrab Kartini Sjahrir) menulis,
“saya ketemu kamu yang begitu lucu, imut imut, berantakan kalau berpakaian, suka naik gunung, suka diskusi, senang folk songs :Joan Baez, Nana Mouskori, suka membaca, suka organisasi-hal hal yang bagi saya terasa baru,aneh, ajaib tapi juga mnyenangkan.”
Lain lagi dengan yang disampaikan Oleh Luki Bekti kawan satu kampus Gie. Ia berkata,“Di kampus Hok Gie bak Dokter yang buka praktek. Teman-teman harus membuat janji dulu jika ingin berbicara serius dengannya. Menurut saya hal itu terjadi karena Hok Gie adalah orang yang pandai mendengarkan dan menanggapi keluh kesah teman temannya. Menurut istilah sekarang, Hok Gie adalah teman curhat yang baik. Baik teman perempuan maupun pria, tak sungkan bercurhat dengannya.” Masih menurut Bekti, kesetiaan Hok Gie pada teman-teman ditunjukan dengan memberi perhatian tulus. Hok Gie pernah mengajak dirinya untuk menengok seorang teman perempuan yang mengalami stress berat di unit perawatan kejiwaan. Ia menengoknya bukan cuma sekali tapi beberapa kali dengan tak bosan memberi dukungan moral baginya.

Dari Pengkhianatan Hingga Semeru
Masih di lingkungan kampus, Soe Hok Gie dikenal pula sebagai aktifis makasiswa yang kritis serta memiliki pandangan pandangan ideal untuk bangsannya. Kendati berasal dari keluarga minoritas Tionghoa, namun ia mendedikasikan diri sepenuhnya untuk kepentingan lebih besar, bangsanya tanpa memandang agama, suku dan warna kulit.

Seperti disampaikan oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Utama, Hok Gie menyikapi tiap persoalan secara ‘hitam putih’. Karena itu analisisnya menjadi tajam dan menusuk. Pada masa demokorasi terpimpin sebagai contoh, ia merasa gusar saat melihat bung Karno melenceng dari cita cita revolusi semula. Menurutnya pemerintahan sang proklamator bukan hanya tak bekerja dengan efisien tetapi juga termahsyur karena praktik korupsi dan dekadensi moral. Sementara rakyat sendiri hidup dalam kemelaratan, mengantri minyak dan kekurangan pangan. Hok Gie menulis,
“kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak, maka lahirlah sang demontsran.”
Sebagai seorang intelektual yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan, Soe Hok Gie memainkan dua peran ganda yakni sebagai man on the street sekaligus Man On the paper.

Sebagai man on the street ia menjadi seorang demonstran yang aktif, hari harinya diisi dengan demo. Rapat penting disana sini dan membangun jaringan. Tahun 1966 ketika mahasiswa turun kejalan dengan mengusung isu Tritura, ia berada dibarisan paling depan. Konon ia pulalah yang menjadi salah satu tokoh kunci terjadinya alisansi anatara Mahaiswa dan ABRI 1966.

Sedang sebagai man on the paper, ia menjadi seorang penulis yang goresan penanya amat tajam. Tulisan tulisan Hok Gie selalu blak blakan, telanjang, berani, jujur namun tidak membabi buta, karena berdasarkan pada daya analisis mendalam dan disertai oleh sentuhan kemanusiaan. Dalam artikel berjudul ‘Orang orang Indonesia Di Amerika’ sebagai contoh, ia menulis dengan sangat gamblang kebiasaan pembesar pembesar kita yang doyan ‘menunggang kuda putih’, dengan kata lain ‘tidur’ bersama perempuan bule saat melakukan dinas kenegaraan ke luar negri. Atau waktu menyinggung proyek Monumen Nasional ia berujar, “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya.”

Semula Hok Gie bersama kawan-kawannya bekerja keras demi mewujudkan cita cita mereka. Ia percaya bila rezim orde lama tumbang maka keadaan akan lebih baik. Namun kejadiaanya justru anti klimaks. Setelah Bung Karno Mundur dan Soeharto menggantikan posisinya keadaan ternyata tak jadi lebih baik. Ia geram atas pembunuhan besar besaran yang dialami oleh anggota PKI dan mereka yang di tuduh sebagai simpatisannya. Hok Gie jelas bukan PKI, tapi dalam pandangannya tiap orang sejahat apapun memiliki han untuk membela diri dan mendapat pembelaan hukum saat akan diadili. Ketika banyak orang tidak tahu atau bisa jadi pura-pura tidak tahu terhadap hal itu karena takut mendapat tuduhan serupa dari Orde Baru, ia dengan berani menulis,
“di akhir tahun 1965 dan disekitar tahun 1966, dipulau yang indah ini (Bali) telah terjadi suatu mala petaka yang mngerikan, yang tiada taranya dalam zaman modern ini baik dari sudut waktu yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka mereka yang disembelih.”
Saat HAM perlu dibela dan keadilan perlu ditegakan, kawan kawan aktifinya justru berpaling dan lebih memilih untuk bergabung di parlemen. Hok Gie kecewa, karena baginya mahasiswa adalah kekuatan moral yang independen dan tak tersentuh oleh unsur politik manapun. mereka bertugas untuk mengganti rezim yang telah bobrok dengan rezim baru yang lebih baik. Setelah tugas itu usai, maka mahasiswa harus kembali ke kampus untuk belajar. kekecewaan itu ia wujudkan dengan menggelar protes yang bikin geger. Hok Gie mengirimi mereka bedak, gincu, cermin, benang dan jarum. Dalam suratnya ia menulis, agar mereka terlihat lebih menarik dimata penguasa. “bekerjalah lebih baik, hidup orde baru! Nikmatilah kursi Anda-tidurlah nyenak”, ungkapnya sinis.

Keberanian Soe Hok Gie bukan tanpa risiko. Ia mendapat surat kaleng dengan makian rasis agar dirinya kembali saja ke negri asalnya atau dirempet mobil. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang sudah dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau di malam hari”, begitu bunyi salah satu ancaman yang ditujukan. Kawan kawannyapun mulai menjauh darinya. Saat keadaan tidak menjadi lebih baik, padahal penguasa telah berganti, ia curhat pada sang kakak Arif Budiman,
“Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”
Guna menghilangkan keresahan dalam dirinya, iapun sering sering naik gunung. Aktifitas yang membuat ia dapat mengenal dan mencintai Indonesia secara langsung. Ia bersinggungan dengan orang-orang desa dan di alamlah dirinya mendapat kedamaian. Hingga kematian menjemputnya dipuncak Semeru pada 16 Desember 1969, cita cita Soe Hok Gie soal kehidupan yang adil makmur belum tercapai. Ia mati muda sebelum usiannya genap 27 tahun. Alam semesta rupanya lebih mencintai dirinya dan tak tak rela kalau sang demonstran kembali bergabung dengan kehidupan kota yang serba munafik. Prasisti atas kematiannya abadi tersimpan dipuncak gunung semeru. Barangkali ia telah menjadi penunggu gunung tertinggi di pulau jawa itu dan sedang mengawasi perjalanan bangsanya dengan bimbang.

Harusnya Berkali-kali
Apa reaksi Soe Hok Gie bila masih hidup saat ini? Indonesia sekarang tak lebih baik bila dibanding dengan zamannya dulu. Apakah ia akan menjadi apatis atau tetap resisten melawan setiap ketidakadilan dengan segala risikonya? Apakah ia akan berkompromi dengan kekuasaan atau tetap menjaga jarak dan independen?

Guna menjawab pertanyaan itu, sedari awal Hok Gie berkata,
“Di Indonesia hanya ada dua pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas batas sejauh jauhnya”.
Sampai ‘batas sejauh jauhnya’ ia berujar. Dengan senegap intergritas dan bukti bukti perjuangnnya, bilapun ia masih hidup saat ini, niscaya dirinya akan tetap konsisten rel perjuangannya yang murni. Ia tak akan mendirikan partai politik atau menjadi bagian dari kekuasaan. Profesi yang dipilih mungkin dosen, mungkin jurnalis atau mungkin juga keduannya. Namun bila profesi profesi tersebut tak dapat lagi menampung kreatifitas pikirannya, bisa saja ia menjelma jadi seorang blogger yang aktif. Bukankah sejak remaja Hok Gie telah menjadi tukang curhat dibuku hariannya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasinya untuk menyebarluaskan apa yang ia pikirkan secara luas dan gratis.

Terlepas ia telah meninggal atau masih hidup, Soe Hok Gie adalah model ideal bagi setiap generasi muda Indonesia, khususnya mahasiswa untuk menilai diri mereka secara jujur. Apa yang telah mereka lakukan untuk bangsa ini? Tridharma pendidikan tinggi mengamanatkan tiga poin penting, yakni pendidikan, penelitian dan penelitian. Namun seperti jauh panggang dari api, sebagian mahasiswa memaknai kehidupan kampus hanya berkutat soal bangku bangku, ruang kelas dan pengajaran tok. Tak heran muncul istilah istilah seperti kupu kupu atau kuliah pulang kuliah pulang bagi mereka yang tidak punya aktifitas lain di kampus kecuali belajar, atau kuper atau kuliah-perpus kuliah-perpus, bagi mereka yang telalu serius menderasi diktat diktat. Sementara sebagian lagi sama sekali tak tahu apa esensi pendidikan tinggi sesungguhnya.

Padahal menurut Novelis Edith Warthon, Generasi muda hendaknya menjadi lilin yang menjadi cahaya sekaligus mencari cermin yang memantulkan sinarnya. Hal ini dibuktikan oleh Soe Hok Gie. Secara personal dan sosial ia dikenal sebagai sosok simpatik, ramah dan tak sungkan membantuk kawan yang mendapat masalah. Sebagai seorang intelektual ia telah memenuhi panggilan jiwanya yang paling dalam. kekritisan sikapnya, tercermin dari aktiftasnya sebagai seorang demostran dan penulis. Baginya menjadi pintar saja tidaklah cukup kalau belum bisa bertindak benar. Bukankah kepintaran yang tak diiringin kebenaran berpotensi besar untuk ‘merusak’ dimasa datang. Hok Gie telah menyelerasakan fungsi tri Dharman pendidikan tinggi yang pincang itu. Meski pengkhianatan dan ancaman ditujukan padanya, namun Hok Gie tetap konsisten. Ia tak tergiur untuk bergabung dengan kekuasaan dan memeperkaya diri sendiri seperti kawan kawannya.

Sikap seperti itu yang mestinya merasuki jiwa tiap generasi muda. Kembali menelaah risalahnya dan berkali-kali meneladaninya merupakan suatu keutamaan. Meneladani dalam prespektif mewarisi karakternya yang penuh martabat. Keculasan diganti kejujuran dan apatisme diganti dengan pengabdian kendati kecil dampaknya dimasyarakat. Pertanyaanya kemudian, apakah kita berani melakukan hal serupa sekarang? Menjadi tidak populer dan dianggap aneh di tengah keadaan yang serba munafik. Seperti disampaikan Hok Gie, kalau memang berani maka rentaslah jalan hidup yang kering dan sepi di depan kita.

Tulisan ini disusun untuk mengenang wafatnya Soe Hok Gie, aktifis mahasiswa, penulis, pencinta alam Indonesia (17 Desember 1942-16 Desember 1969)


Jenazah Gie



Soe Hok Gie di Puncak Pangrango, 1967
Share:

Golongan Absent Serta Politik Transaksional

Search: Google
KARUT marutnya tahapan penyelenggaraan pemilihan mahasiswa (pemilwa) di tahun kemarin, kacaunya daftar pemilih tetap (DPT) mahasiswa menjadi hal tidak terpisahkan dari suksesnya pemilwa. Temuan ratusan pemilih tak bertuan di sejumlah fakultas dapat mengancam netralitas penyelenggara pemilwa. Ekses dari akumulasi itu, jumlah golongan putih (golput/absent) dalam pemilwa dipastikan bertambah.

Bertambahnya jumlah absent menjadi tolok ukur kesuksesan penyelenggaraan pemilwa. Semakin banyak calon pemilih yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), sangat dimungkinkan gugatan hasil pemilwa akan bermunculan, terutama menggugat penyelenggara pemilwa karena dinilai tidak sukses menjalankan tugasnya.

Bertambahnya jumlah absent karena calon pemimpin tidak memiliki standar kualitas. Masih banyak elite mahasiswa yang hanya ikut-ikutan, bahkan niatnya pun untuk mencari muka (pencitraan), penguasaan. Proses pencalonan yang dilakukan partai politik mahasiswa tidak diseleksi, bahkan hanya melengkapi biodata para calon dan mengikuti organisasi ekstra kampus apa? (bahkan ini yang menjadi syarat utama).

Kalaupun sebagian mereka terpilih dan dipercaya, tetapi setelah terpilih mereka tidak dapat berbuat banyak menjalankan peran dan fungsinya selaku wakil mahasiswa lainnya.

Kecakapan dan kualitas sangat kurang dalam menjalankan tugasnya. Rendahnya kemampuan mengapresiasi aspirasi konsituen menjadi salah satu penyebab tingginya angka absent. Keraguan terhadap calon mahasiswa menambah beban KPM sebagai penyelenggara pemilwa. Pertanyaannya, apakah kondisi ini terus dibiarkan begitu saja? Saya kira perlu langkah-langkah strategis untuk memperkecil angka absent. Harus ada tekanan dari partai politik, para calon mahasiswa yang direkrut memiliki integritas dan kemampuan yang baik, termasuk dalam melakukan dialog persuasif kepada konsituennya.

Langkah lain, partai politik mahasiswa harus mengubah model kerjanya, begitu juga para politisi mahasiswa tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sudah saatnya elite politik mahasiswa berpikir untuk mencedaskan pemilih melalui sosialisasi pemilwa. Bukan malah sebaliknya, ikut membodoh-bodohi mahasiswa melalui politik transaksional. Politik transaksional yang dilakukan kebanyakan politisi mahasiswa merupakan potret buram demokrasi kampus.

Mahasiswa lain dicekoki hal yang berbau pragmatis dan transaksional sehingga hasilnya pun menjadi tidak sehat. Politik transaksional yang terjadi belakangan ini memperburuk demokrasi kampus. Maka tak heran pula, angka absent setiap pemilwa terus bertambah. Mahasiswa yang sering berpikir pragmatis dan inilah yang mencederai demokrasi kampus menjadi demokrasi kebablasan transaksional.
Share:

Paradigma Mahasiswa di Masa Ini

“ Manusia harus terus belajar selama hidupnya, manusia akan senang bila menemukan hal-hal baru, kita belajar bukan untuk menjadi menteri, mendapat gelar dan sukses.
Lalu, kenapa kita belajar? Sebab itulah misi manusia”

Seperti yang telah diungkapkan pada kalimat diatas bahwasanya manusia hidup haruslah belajar, bukan karena untuk mendapatkan gelar, bukan karena jabatan, bukan karena mengejar kesuksesan, bukan pula karena untuk mencari pekerjaan. Lalu untuk apa kita belajar? Karena belajar sudah menjadi misi manusia.
Kata belajar banyak diartikan sebagai suatu usaha untuk mengasah kemampuan akademik, belajar juga lebih sering dikaitkan dengan dunia pendidikan. Padahal kegiatan belajar tidak hanya dapat dilakukan dalam sistem pendidikan, belajar tidak semata mengenai kemampuan akademik. Belajar dapat dilakukan dimana saja, tidak melulu mengenai masalah akademik namun bisa mencakup berbagai hal yang membuat manusia mampu menjalankan perannya sebagai pemimpin di dunia .

Berbicara mengenai pendidikan, mahasiswa merupakan pelaku pendidikan yang memiliki kedudukan paling tinggi diantara pelaku pendidikan lainnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata mahasiswa memiliki arti orang yang sedang belajar di perguruan tinggi dengan berbagai latar belakang dan disiplin ilmu yang digelutinya. Ya, aktivitas utama mahasiswa adalah untuk belajar. Mahasiswa merupakan tumpuan dan harapan suatu bangsa serta generasi  peubah (agen perubahan) yang memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu bangsa. Sehingga tidak heran, jika mahasiswa didesain untuk selalu belajar, belajar dan belajar.
Namun dewasa ini, tidak semua mahasiswa menyadari peran tersebut. Banyak mahasiswa yang mengalami disorientasi dan disfungsi karena menganggap bahwa rutinitas kuliah merupakan kegiatan untuk mengisi waktu luang saja, sehingga paradigma berpikir mahasiswa ketika kuliah tidak untuk menimba ilmu dan pengetahuan namun hanya berorientasi sekadar untuk mendapatkan IP tinggi kemudian lulus secepat mungkin lalu bekerja, mendapat takhta, gelar dan pastinya uang.

Paradigma berpikir mahasiswa yang seperti itu haruslah diubah, mahasiswa seharusnya berorientasi bahwa tujuan dari kuliah tidak hanya mengejar nilai dan menarget IP tinggi lalu lulus dan mendapat kerja. Namun sejatinya tujuan dari kuliah adalah mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan mengembangkan kemampuan diri sehingga nantinya tidak hanya menjadi mahasiswa ‘biasa’ saja melainkan dapat menjadi mahasiswa ‘berprestasi’.

Lalu seperti apa mahasiswa berprestasi tersebut? Apakah mahasiswa yang memiliki IP tinggi ?
Sering kali IP dijadikan tolok ukur suatu prestasi mahasiwa. Lalu bagaimana mahasiswa yang memiliki keunggulan diluar kemampuan akademik, apakah mereka tidak dapat disebut sebagai mahasiswa berprestasi?
Prestasi merupakan suatu tingkat pencapaian yang menjadikan seorang mahasiswa berbeda dibandingkan dengan mahasiswa kebanyakan. Tingkat perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai pandangan, dapat dari perspektif akademik, organisasi, seni, olahraga, musik dan lain sebagainya.

Menjadi mahasiswa berprestasi tidak harus memiliki kemampuan di semua bidang dengan sempurna. Mahasiswa yang berprestasi adalah mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya. Kemudian dapat meraih suatu pencapaian di bidangnya, dan dari pencapaian tersebutlah yang menjadikan seorang mahasiwa memiliki perbedaan diantara sekian banyak mahasiswa. Perbedaan pencapaian tersebutlah yang menjadikan seorang mahasiswa berprestasi dan mampu menjadi generasi muda penerus bangsa.
Sejatinya manusia dilahirkan dengan memiliki kelebihan dan kekurangan diri masing-masing. Apabila kita merasa kurang dalam suatu bidang tertentu maka jangan pernah berpikir untuk mundur atau menyerah namun hadapi dan lakukan yang terbaik karena semua hasil dari usaha kita telah ditentukan oleh Tuhan. Begitu pula ketika kita terlahir dengan sebuah kelebihan, maka gunakanlah kelebihan tersebut dan kembangkan kelebihan tersebut semaksimal mungkin, sehingga dapat menjadi bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

Jangan pernah merasa iri akan kemampuan dan kelebihan manusia lainnya karena Tuhan menciptakan manusia dengan aneka perbedaan.  Bahkan Tuhan meyanyangi dan menguji setiap hamba-Nya dengan cara yang berbeda pula. Maka jangan pernah untuk menyamakan hidupmu dengan manusia lainnya, karena setiap kamu adalah Istimewa.
Share:

Tentang Partai Mahasiswa

Sumber: mametsaru.wordpress.com
Beberapa hari yang lalu, pernah diminta pendapat by email oleh salah satu pers mahasiswa dari salah satu Universitas tentang partai mahasiswa di kampus. Meskipun beberapa kutipan sudah diterbitkan, sepertinya tidak ada salahnya kalau saya posting ulang disini selengkapnya:
Menurut anda, adakah peranan partai mahasiswa dalam kehidupan kampus anda? Jika ada, apa saja?
Seharusnya ada. Idealnya, partai mahasiswa adalah suporting system dari lembaga eksekutif dan legislatif mahasiswa sebagai penyalur aspirasi dan pendidikan politik mahasiswa. Dalam tataran good governance di dalam kampus, partai mahasiswa adalah salah satu elemen dari civil society bersama dengan mahasiswa secara individu. Peranan penting partai mahasiswa tidak hanya sekedar menjadi rekruitmen politik dalam pengisian jabatan di lembaga eksekutif atau legislatif namun juga harus menjadi wadah keluh kesah mahasiswa dalam melindungi hak dan mensejahterakan mahasiswa .
Apa pendapat anda dengan banyaknya partai yang ada di kampus?
Menurut anda, baik atau burukkah dinamika politik di kampus dengan adanya banyak partai?
Banyaknya partai mahasiswa yang ada di kampus merupakan cerminan dari sistem multipartai yang dianut oleh negara kita. Di satu sisi, sistem multipartai di kampus merupakan penghargaan bagi heterogensi mahasiswa yang ada. Semakin banyak partai mahasiswa cenderung akan dilihat lebih demokratis serta semakin banyak wadah-wadah berpolitik bagi mahasiswa. Namun di sisi lain, bukan berarti sistem multipartai yang dipandang lebih demokratis tidak memiliki tantangan yang besar. Tantangan tersebut muncul dari sebuah pertanyaan “apakah yang membedakan satu partai dengan partai yang lain ?”. Meminjam istilah dari Steven B. Wolinetz bahwa dalam sistem kepartaian konteks perbedaan antara partai dapat dilihat dari perilaku politiknya yang diklarifikasikan menjadi tiga, pencari kebijakan (policy-seeking), pencari suara (vote-seeking), pencari jabatan (office-seeking). Apabila semangat demokrasi multipartai tidak terawat dengan baik, yang terjadi adalah sebagian besar partai mahasiswa hanya akan berorientasi pada vote-seeking atau office seeking (dipandang lebih praktis) daripada berfokus policy-seeking. Tak heran jika partai mahasiswa hanya hadir pada saat momen-momen pemilihan umum saja.
Apa pendapat anda tentang koalisi partai? Pentingkah koalisi partai? Kenapa?
Koalisi partai merupakan sebuah kelaziman yang dilakukan pada sistem pemerintahan parlementer. Namun berbagai fenomena mulai menunjukan bahwa dalam sistem presidensial tidak menutup kemungkinan terjadi koalisi partai. Pun dalam hal ini, kelembagaan universitas (BEM– Senat) di kampus yang juga cenderung pada sistem presidensial. Idealnya, ada dua tujuan koalisi yaitu: pertama, untuk menggalang dukungan dalam proses pemenangan pemilihan presiden saat pemilihan umum. Kedua, untuk menjaga stabilitas dalam pemerintahan atau dukungan politik antara eksekutif (BEM) dan legislatif (Senat). Namun disisi lain, koalisi juga memiliki pola tertentu yang menyebabkan koalisi tersebut tidak sehat salah satunya adalah koalisi dengan pola transaksional. Koalisi transaksional ini dapat terjadi pertama karena pola vote-seeking dimana elit partai mahasiswa dalam membentuk koalisi hanya sekedar untuk mengalahkan kompetitior. Tak jarang koalisi macam ini harus mengesampingkan ideologi demi orientasinya tersebut. Kedua, pola office-seeking yaitu koalisi terjadi karena manuver partai mahasiswa yang mencari potensi jabatan-jabatan dari kandidat yang potensial. Pola ini akan lebih mengedepankan lobi dan negoisasi politik ketimbang kesamaan tujuan dan ideologi partai. Koalisi partai adalah pola yang tidak akan bisa jauh dalam sistem multipartai. Sekali lagi tinggal bagaimana partai mahasiswa bijaksana dalam melakukan koalisi.
Apa pendapat anda tentang calon independen?
Pencalonan dari unsur independen dalam sebuah sistem pemerintahan harus tetap dibuka lebar. Alasan paling mendasar, bahwa konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Perlu diingat partai bukan hanya satu-satunya kendaran untuk masuk ke dalam pemerintahan. Dalam sistem good governance seperti yang sudah dijelaskan diatas, partai hanya salah satu bagian dari civil society. Begitu pula dalam dunia kampus, partai mahasiswa tidak berhak membatasi kesempatan calon independen untuk menjadi presiden mahasiswa. Mengingat selain partai mahasiswa masih cukup banyak civil society lain yang berpotensi melahirkan sosok untuk memimpin jalannya pemerintahan kampus tanpa bersinggungan dengan unsur partai mahasiswa. Terbukanya jalur independen adalah salah satu semangat untuk mempertahankan demokrasi partisipatoris. Selain itu, untuk mengantispasi pula jikalau suatu saat nanti kekuatan oligarki partai mahasiswa benar-benar semakin tidak terbendung atau merosotnya kepercayaan mahasiswa terhadap partai mahasiswa.
Jika calon independen bisa menjadi kandidat pemilwa, masih pentingkah adanya partai politik di kampus anda?
Seharusnya, partai mahasiswa tidak hanya sekedar menjalankan fungsi rekruitmen dan pengisian jabatan politik saja karena masih banyak fungsi lain yang harus dijalankan. Meskipun dimungkinkan adanya calon dari unsur independen, idealnya partai mahasiswa tetap dibutuhkan untuk melakukan hubungan check and balances dan menjalankan fungsinya yang lain seperti pendidikan politik dan penyalur aspirasi dari mahasiswa, tidak hanya bergelut dengan rekruitmen dan pengisian jabatan politik saja. Jika tantangan itu tidak dapat dilakukan, maka bukan tidak mungkin mahasiswa kehilangan kepercayaan terhadap partai mahasiswa dan lebih banyak menaruh harapan pada calon independen.
Menurut anda, efektif dan efisienkan partai mahasiswa sebagai representasi mahasiswa di Universitas anda? Mengapa?
Salah satu fungsi dari partai mahasiswa adalah fungsi representatif khususnya dalam sistem pemerintahan di kampus dan sebagai lembaga pembuat kebijakan untuk mahasiswa. Sependek pengetahuan penulis, peran partai mahasiswa masih harus dioptimalkan lagi untuk mencapai titik dapat dikatakan efektif dan efisien menjalankan fungsi representatifnya. Beberapa pola harus dibenahi baik itu dari sistem (eksternal) maupun dari internal partai mahasiswa sendiri. Pembenahan yang dapat dilakukan dari sistemnya, yaitu tentang pola kelembagaan Senat sebagai lembaga perwakilan di tingkat universitas yang diisi dari calon dari partai mahasiswa maupun independen harus kembali dipertegas menjadi sistem Bikameral. Meskipun kampus memiliki organisasi berbentuk federasi terhadap kelembagaan di tingkat fakultas, namun bukan berarti aspirasi tingkat fakultas dapat diabaikan begitu saja dalam pembentukan undang-undang. Selama ini, senat independen yang diharapkan menjadi perwakilan fakultas di tingkat universitas tidak mampu bekerja optimal karena sistem pertanggungjawaban terhadap lembaga di tingkat fakultas tidak jelas. Begitupun senat dari partai mahasiswa yang kurang optimal karena inkonsistensi dalam memaknai sistem pemilihan proporsional terbuka. Dalam sistem pemilihan proporsional terbuka, anggota senat dipilih langsung dan diberikan amanah langsung oleh mahasiswa sebagai representasi mahasiswa bukan representasi partai mahasiswa. Maka setelah terpilih, wajar ketika anggota senat seharusnya memperjuangkan hak dan bertanggungjawab kepada mahasiswa bukan kepada partai, termasuk apabila akan dilakukan PAW (Pergantian Antar Waktu) terhadap senat tersebut. Untuk pembenahan dari internal, partai mahasiswa harus berani turun sebagai supporting system lembaga eksekutif dalam mengawal isu-isu di kampus khususnya isu kemahasiswaan. Dengan begitu, partai mahasiswa akan dekat dan tau betul masalah yang terjadi terhadap mahasiswa dan hanya dengan seperti itu maka partai mahasiswa sebagai penyambung lidah mahasiswa bukan lagi sebuah pepesan kosong.
Share:

Menggali Identitas Mahasiswa Yang Hilang

Search: Google
“Saya akan dengan senang hati mengorbankan hidup jika hidup itu akan memajukan kebenaran”, kata penulis Rusia Alexander Solzhenitsyn. Ia yang karena keberaniannya menentang perlakuan kejam terhadap pria dan wanita didalam kamp kamp penjara, harus menanggung resiko mulai dari ancaman, penahanan sampai harus melarikan ke Swizerland mengingat kondisi di Rusia sudah tidak lagi kondusif bagi keselamatan jiwanya. ketika ada orang meyebut perjuangannya merupakan suatu kesia-siaan, Solzhenitsyn justru semakin giat menulis. tidaklah ia ingin disebut sebagai pahlawan kemanusiaan tapi hal tersebut dilakukan semata mata sebagai wujud kekritisannya untuk menyatakan kalau yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Apabila kisah Solzhenitsyn diparalelkan dengan kehidupan kampus, maka kita berharap mahasiswa dapat menyadari fungsi fungsi dasarnya sebagai the happy selected view, sebagian kecil masyarakat yang beruntung karena bisa kuliah ketika pada saat bersamaan terdapat ratusan ribu pemuda pemudi Indonesia harus gigit jari karena tidak memiliki kesempatan serupa seperti mereka.

Dalam Zaman peralihan, Soe Hoek gie menulis fungsi utama mahasiswa adalah belajar. hakikat belajar sendiri adalah Journey (perjalanan) bukan race (balapan). mereka yang memahami definisi belajar sebagai race, akan terjebak pada pencapaian nilai nilai. IPK tertinggi menjadi tolok ukur kepandaian seorang mahasiswa. segala cara dihalalkan untuk mencapinya dan disinilah pangkal ketidakjujuran dimulai. mencontek adalah istilah paling ngepop bagi mereka yang berada dalam kelompok ini. pertanyaanya kemudian, kalau masih jadi mahasiswa saja sudah mencontek, bagaimana nanti jika terpilih menjadi pejabat negara ? bisa bisa korupsi. tapi bagi mereka yang memahami definisi belajar sebagai journey, hal terpenting adalah mendapatkan pemahaman mendalam atas materi materi perkuliahan dikelas kemudian kelak setelah lulus dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. bagai mereka apalah artinya mendapat nilai bagus tapi membohongi diri sendiri. apalah artinya lulus tapi sebenarnya tidak mendapatkan apa apa.

fungsi kedua adalah sosoalisasi didalam kampus. pernahkan anda mendengar istilah introvert ? itulah sebutan untuk orang yang takut bergaul alias menutup diri. apapun alasanya dikampuslah semua sikap tertutup itu harus didobrak. seseorang hendaknya mulai menyadari kalau pergaulan adalah jalan untuk memperluas wawasan, mendewasakan cara berfikir dan membentuk kepribadian. tapi, jangan sembarangan bergaul karena pergaulan pada hakikatnya adalah pertarungan mempertahankan identitas dan ideologi. ideologi pemenang akan menjajah dan menguasai dunia kata seorang filsuf. Ibnu khaldun dari dulu menggaris bawahi bahwa orang kalah akan didikte cara hidup orang menang. kita tahu kapitalismelah pemenang saat ini. lebih parah dari perang fisik kapitasime tidak hanya mendominasi tapi juga menghegemoni negara negara jajahanya. anak anak muda (khususnya mahasiswa) mengikuti gaya hidup amerika yang kebarat baratan. dengan semangat sex, song, sport dan smoke mereka menjadi garda terdepan yang rela menghisap mentah mentah candu westoksinasi (racun barat). “bapak ibu dosen” di MTV menyebarkan gaya hidup hedon semisal tato, cat rambut, mode dan sebagainya. sementara restoran siap saji menjadi hidangan junk food terlaris lambat laun pola pikir mahasiswa (seperti halnya junk food) juga mulai teracuni suatu pemahaman kalau bergaul ala anak muda adalah bergaul ala Amerika. Ekky al Malakky mendefinisikannya sebagai pergaulan yang hanya menginginkan kesenangan belaka, tanpa beban aturan, tanpa tanggung jawab dan tanpa tujuan hidup hingga pada titik terendah mereka kehilangan sense of crysis ditengah kondisi bangsa yang carut marut karena keterpurukan ekomomi.

Apakah salah mengikuti gaya hidup seperi itu ? sebenarnya tidak ada larangan untuk bersikap kebarat baratan. Adalah fitrah untuk tampil gaul dan trendy dikampus karena itu adalah kebutuhan manusia yang haus akan nilai nilai estetis (nilai nilai keindahan). tapi alangkah bijaksana kalau kita sebagai mahasiswa melihat barat tidak sebatas dari kulit luar saja namun juga mendalami intisari didalamnya. banyak semangat barat yang patut ditiru. bagaimana mereka menjadi pemenang, bagaimana etos kerja, kerajinan, kebersihan, ketekukanan dan disiplin mereka terapkan. bagaimana daya kritis dan persaingan sehat di tinggikan. bagaimana prestasi dan kerja keras diangungan. dengan memahami intisari barat diharapkan mahaiswa bukan hanya tampil trendy dan gaul tapi juga dapat memilah milah mana budaya yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk ditiru.

Fungsi terakhir mahasiswa adalah sosial kemasyarakatan. bagaimana mahasiswa berbuat untuk rakyatnya tidak untuk mendapat imbalan berupa materi tapi semata mata untuk memenuhi panggilan jiwanya sebagai seorang intelaktual. ada yang menafsirkan berbuat berarti berdemonstrasi padahal lebih dalam dari itu makna hakiki dari berbuat adalah terciptanya suatu kesadaran dalam diri untuk membela nilai nilai kemanusiaan yang terampas. bentuknya bisa apapun seperti melalui tulisan, pengglangan dana, pendidikan gratis dan lain lain. suatu waktu demonstrasi memang dibutuhkan untuk mendobrak suatu tatanan nilai yang bobrok tapi lebih jauh dari itu yang terpenting adalah mahasiswa mahasiswa indonesia berbuat dengan cara apapun bagi bangsanya sesuai dengan kompetensi di bidang mereka masing masing.

Dari mana memulainya ? bukankah terlalu banyak masalah dinegri ini? kalau begitu, mari kita gunakan logika berfikir seorang pengangkut batu. jangan terlalu lama merenung berapa banyak batu yang harus diangkut tapi mulai saja pindahkan batu paling pertama sampai batu paling terakhir. mungkin pendapat ini dinggap terlalu utopis. tapi bagi seorang mahasiswa yang sadar akan fungsinya lebih baik disebut berfikiran utopis daripada diam. memang ditengah kebekuan kampus seperti sekarang ini dimana apatisme sedang menggejala, sebagaian orang berkata “untuk apa cape cape ikut gerakan sosial? untuk apa demonstrasi ? toh hidup saya sudahnya nyaman. biaya hidup saya tercukupi. siapa musuh kita sekarang ? toh soeharto sudah tumbang, mau apa lagi?” kalau mahasiswa sudah berfikir seperti itu, ia telah menempatkan dirinya sebagai menara gading. terlihat tinggi, berwibawa dan anggun karena renda renda ilmu pengetahuan tersemat pada dirinya namun tampak begitu kerdil dimata rakyat. jelas ini merupakan sebuah penghianatan intelektual. cara berfikir mementingkan diri sendiri hanya akan melahirkan tirani tirani baru dimasa depan. pemimpin pemimpin yang berkerja bukan untuk mengabdi tapi sekedar mencari penghasilah materi seperti hal buruh, nelayan dan petani.
 
Sebaik baik sikap dari seorang mahasiswa adalah menjadi pengawal sejarah bangsanya menuju kehidupan adil makmur. mungkin ia akan lebih dulu mati ditengah perjalanan sementara mimpi mimpinya masih banyak yang belum terwujud dan kemenangan belum tercapai. tapi alangkah indah kematin apabila ia datang pada sang mahasiswa ketika sedang gigih berjuang mempertahankan keyakinannya, idealismenya dan pembelaanya terhadap kemanusiaan. sungguh kematian itu bukan kesia siaan melainkan sebuah pengorbanan yang menenpatkan dirinya sebagai seorang martir.
 
Setelah membaca tiga fungsi mahasiswa diatas, hendaknya kita melakukan introspeksi kedalam diri masing masing, sebenarnya untuk apa kita kuliah ? dan akan kemana setelah nanti kita lulus kuliah? Nasib kita dikampus jangan sampai berakhir seperti yang dikatakan oleh seorang filsuf anonim, “aku datang kedalamnya seperti orang buta, aku hidup didamanya seperti orang bingung dan aku keluar darinya seperti orang kesal”.
 
Sumber tulisan :
Al- Malaky,Ekky.2003.Remaja Doyan Filsafat ?, Why Not.Bandung.Penerbit DAR, Mizan
Kertanegara,Mulyadi.2005. The Best Chicken Soup Of The Philosophers.Jakarta: Penerbit Hikmah ( PT Mizan Publika )
May,Rollo.2004.The Courage To Create.Jakarta: Penerbit Teraju (PT.Mizan Publika)
Sonata, Thamrin. 1998. Tragedi Semanggi:yayasan Pariba
Trim, Bambang.2005. Menginstall Nyali. Bandung :MQ Publishing Gie, Soe Hoek.zaman peralihan:Gagas Media
Share:

Revitalisasi Peran Organisasi Mahasiswa Kedaerahan

Search: Google
Menjadi penggiat di organisasi daerah memiliki tantangan tersendiri. Pertama, tantangan terbesar adalah menjaring mahasiswa-mahasiswa sedaerah berpartisipasi dan aktif dalam agenda-agenda organisasi. Ada perbedaan mendasar antara organisasi daerah dan organisasi pergerakan. Hampir dapat dipastikan, anggota-anggota organisasi pergerakan tertentu diisi oleh pribadi-pribadi yang pada dasarnya memiliki niat awal untuk berproses di organisasi. Sedangkan organisasi daerah, terlebih dahulu harus menjaring mahasiswa daerah untuk bergabung dan merencanakan sumbangsih apa yang sekiranya mungkin dilakukan untuk masyarakat yang ada di daerah.
Kedua, seringkali organisasi daerah lebih mengutamakan asas kekeluargaan dibanding asas-asas lainnya. Acara-acara yang dibuat pun tidak jauh dari prinsip tersebut mulai dari Malam Keakraban (Makrab), seminar-seminar dengan mengangkat budaya daerah, hingga kumpul-kumpul yang tak jelas pembahasannya apa.
Asas ini tidak mesti dihilangkan karena ia menjadi titik tolak terbentuknya organisasi sekaligus strategi menarik anggota baru. Hanya saja perlu dipikirkan kembali bahwa di luar sana masih banyak hal-hal fundamental yang mesti diurus. Kerja-kerja organisasi daerah akan sia-sia dan berlalu begitu saja tanpa capaian yang jelas jika tidak dibarengi dengan usaha pelampauan makna organisasi daerah yang selama ini kita pahami. Lagi pula, mengedepankan asas kekeluargaan akan mematikan sikap kritis terhadap sesama yang salah secara haqqul yakin. Maka, pada titik ini kebenaran dikorbankan atas nama kekeluargaan.
Ketiga, kawan-kawan sedaerah kerap kali mengeluhkan bentuk sumbangsih apa yang bisa dilakukan untuk daerah. “Biarlah pemerintah yang ngurusi masalah pembangunan, jangankan ngurusi pembangunan, makan aja susah!” kata seorang kawan. Ada jalan alternatif keluar dari masalah itu. Memang pada kenyataannya, sebagian besar mahasiswa, dari segi finansial masih bergantung pada kiriman orang tua.
Kesuskesan agenda-agenda organisasi berawal dari proses uji imajiner terhadap segala kondisi kemungkinan. Kemungkinan yang penulis maksud, mahasiswa dan organisasi daerah bisa memberikan sumbangsih berdasar atas kondisi kemungkinannya. Ia bisa melayangkan kritikan atau sumbangsih tulisan lewat media yang ada didaerah atau paling tidak melalui gawai yang ia miliki.
Organisasi Daerah Harus Mengkaji Ulang dan Merumuskan Perannya

Organisasi daerah jangan hanya berhenti pada tahap pengkajian identitas yang ikut terbawa oleh subjek dari kampung halaman, kemudian berusaha memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa identitas itu ada dan dimunculkan di ruang-ruang publik kala event-event budaya diselenggarakan. Organisasi daerah justru harus mencoba membaca kondisi kampung halamannya, berusaha menemukan titik-tik patologi sosial. Pembacaan kondisi berfungsi memberikan gambaran jelas sebelum menentukan langkah apa yang seharusnya ditempuh untuk menghapus akar persoalan. Kurangnya pembacaan kondisi dikhawatirkan membuat tumpul strategi ketika diterapkan di lapangan.
Pembacaan kondisi membutuhkan seperangkat pisau analisis dari ilmu sosial, ekonomi, politik, filsafat, agama, dan lain-lain. Menurut pengalaman penulis, sangat sulit menyusupkan disiplin-disiplin keilmuan di atas karena beberapa alasan yang tak dapat dijelaskan di sini. Solusi yang penulis tawarkan adalah mengenalkan jargon-jargon revolusioner kepada mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Dalam tahap pembelajaran, tidak ada ada yang salah jika langkah pertama adalah memperdengarkan jargon revolusioner kepada mahasiswa yang baru sembari secara perlahan-lahan memberikan pemahaman apa sesungguhnya makna terdalam yang terkandung dalam jargon-jargon revolusioner yang seringkali membangkitkan amarah itu.
Ditambah lagi, mahasiswa baru, biasanya masih tengah semangat dalam proses pencarian jati diri. Benih-benih daerah itu merupakan ladang empuk menanamkan pemikiran-pemikiran revolusioner sebelum mereka terkontaminasi oleh hedonisme perkotaaan.

Apa sesungguhnya tugas dari intelektual? Ada beberapa buku yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Edward W. Said menulis buku Peran Intelektual¸ Ali Syariati menulis buku Tugas Cendekiawan Muslim, Eko Prasetyo menulis buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Eko Prasetyo memaparkan betapa irasionalnya aktivitas keseharian kita dikampus kemudian mempertanyakan kembali esensi dari kemahasiswaan kita , Antonio Gramscy dalam bukunya Prison Note Books: Catatan-Catatan dari penjara memetakan posisi intelektual berikut arena kerjanya. Posisi organisasi daerah sejalan dengan varian intelektual yang dimunculkan oleh Gramscy, Intelektual Organik.
Secara sederhana fungsi intelektual yang harus dijalankan, dalam pengertian Gramsci dan Ali Syariati, adalah membantu masyarakat menyadari kondisi sosial yang sesungguhnya; kenapa kehidupan mereka tidak sejahtera padahal sawah dan ladang terbentang sejauh mata memandang? Siapa yang harusnya bertanggung jawab atas ketimpangan yang terjadi? Siapa yang memiskinkan mereka?
Pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan itu mesti digaungkan oleh organisasi daerah. Pada poin ini, bukan berarti masyarakat tidak mampu mengetahui sendiri kondisi yang tengah dialami. Kata Gramsci dalam bukunya, “semua manusia adalah intektual, namun tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual”. Masyarakat masih sibuk dengan urusan bagaimana mengisi perut kosong, sehingga potensi intelektual yang bersamanyam di dalam diri setiap insan belum juga terfungsikan. Atau boleh jadi, sikap fatalis (menyerahkan diri pada takdir) lah yang membuat kondisi sesungguhnya belum tersingkap dan terus bersembunyi di balik kelamnnya malam.
Ali Syariati membahasakan intelektual yang menempuh jalan kenabian ini sebagai intelektual yang tercerahkan (rausyan fikr). Organisasi daerah yang tercerahkan, dalam tahapan tertentu, sangat mungkin menyebarkan benih-benih pencerahan sehingga terpantiklah potensi intelektual masyarakat. Hal lain, pribadi yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi lebih memiliki akses kepada ilmu pengetahuan sehingga ia diwajibkan mentransmisi ilmu pengetahuan dengan bahasa yang bisa difahami oleh kaummnya.
 
Organda sebagai Intelelektual Kolektif
Dalam ranah perjuangan dan pergerakan, seseorang mutlak membutuhkan arena untuk bergerak, realisasi ide-ide progresif dan bentuk pemunculan eksistensi diri. Sulit kiranya membanyangkan bagaimana jadinya kelangsungan proses realisasi ide-ide cemerlang tanpa ruang dan kawan untuk bergerak. Tetap saja kerja-kerja kelompok besar kemungkinan akan berhasil dibanding kerja independen. Belum lagi kekuasaan kelas berkuasa semakin hari mengalami penguatan.
Menanggapi hal ini, Pierre Bourdieu mengusulkan pembentukan antagonis tandingan, Intelektual Kolektif (collective intellectual). Bourdieu menilai, ekonomi, politik dan pers saling bekerja sama dan menguatkan satu sama lainnya. Kalangan tertentu lebih bisa menentukan arah kebijakan, sementara kalangan intelektual dipinggirkan dalam hal pembahasan kebijakan publik. Intelektual semakin kehilangan derajat kemandiriannya alias tidak lagi memiliki otonomi. Intelektual tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik (Arizal Mutahir, 2011:141-142).
Melalui arena Intelektual kolektif, Bourdieu mengharapkan hadirnya kumpulan subjek, perlahan tapi pasti, dapat menggoyahkan kekuasaan.
Kalangan Post-Marxis, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, menilai, gerakan-gerakan sosial yang dibangun bukan atas dasar perjuangan kelas bisa juga memposisikan diri dan memainkan peran antagonisnya dalam ranah sosial kemasayarakatan (Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, 2008 : 234-236). Tentu saja sifat antagonis ini bisa dilekatkan jika organisasi daerah memahami betul di posisi mana ia berada, bentuk kekeluargaan seperti apa yang hendak diperjuangkan, atau lebih tegasnya organisasi daerah mesti memahami betul apa yang paling dibutuhkan oleh daerahnya. Organisasi daerah kemudian memposisikan diri sebagai kumpulan subjek yang memperjuangkan kebutuhan fundamental itu. Sebagai subjek-subjek yang sadar akan kebutuhan yang telah dirumuskan, mereka merasa tersubordinasi jika pemangku kebijakan tidak merespon baik keinginan mereka. Sadar bahwa ia terpinggirkan dan tidak terakomodasi kepentingannya, atas dasar alasan-alasan tersebut dirumuskannlah langkah apa yang dapat menjembatani kesenjangan antara keinginan akan hak dan rintangan yang dihadapi.
Ini berarti intelektual mendapatkan kembali otonominya dan menjalankan fungsi yang seharusnya ia jalankan. Bourdieu, menghendaki perkumpulan intelektual itu diisi oleh pribadi dengan beragam disiplin ilmu. Ini berkaitan dengan kondisi masyarakat yang serba kompleks, disiplin itu nantinya akan digunakan menganalisis masyarakat. Persyaratan ini sudah terjawab karena pada realitasnya organisasi daerah diwarnai oleh mahasiswa-mahasiswa dengan latar jurusan yang beragam. Tugas besar organisatoris daerah adalah bagaimana meyakinkan mereka untuk mengamalkan ilmunya untuk kerja-kerja organisasi.
Bourdieu sebetulnya menghendaki intelektual kolektif itu tidak dibatasi oleh persoalan identitas kultural, batas-batas negara, atau dikotomi-dikotomi lain, tetapi yang ia cita-citakan adalah mempertemukan seluruh intelektual dari semua negara dan membentuk blok kekuatan besar, dalam blok inilah dialektika antar ide terjadi dan saling menguji. Lagi-lagi kita harus mempertimbangkan kondisi kemungkinan yang kita miliki.
Share:

I Stand On Whatever Side


Banyak yang mengeluh kalau timeline (baik Facebook ataupun Twitter) sekarang ini dipenuhi berita yang sama dan membosankan, apalagi kalau bukan tentang pilkada. Memang sih, lama-lama jadi membosankan. Semua berebut berbagi link informasi tentang Calon Bupati/ Calon Wakil Bupati favoritnya, tak perduli sumber berita itu valid atau tidak. Apalagi tahun ini pilihan kan cuma ada tiga ya.

Gue sih suka dengan berita politik, bukan anti loh. Gue juga punya pilihan cabub/cawabub sendiri. Gue kurang menyetujui pilihan beberapa (atau banyak?) orang yang memutuskan untuk TIDAK MEMILIH di Pilkada saat ini, bahkan selalu mengajak orang di sekitarku agar DATANG KE TPS nanti. Banyak yang memutuskan untuk tidak datang ke TPS dengan alasan sederhana dan menurut gue sih masuk akal: "buat apa capek-capek memilih. Toh siapapun yang nantinya menang pemilu, kelakuannya sama saja kok, korupsi."
Dan memang, tidak ada yang bisa menjamin, kalau Cabub pilihannya tidak akan korupsi kalau menang nanti. Tapi gue juga bisa memberikan alasan kenapa sebaiknya kita menyisihkan waktu untuk datang ke TPS: "agar kertas suara elu tidak kosong, sehingga bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu" Itu saja kok. Sederhana saja kan?

Banyak juga kok orang yang datang ke TPS itu tidak memiliki calon tertentu yang ingin dicoblos (berkaca dari pemilihan legislatif kemarin). Ada juga yang datang untuk mencoblos SEMUA WAJAH CALEG di kertas pilihan >.< sebenarnya bukan hal yang patut dibanggakan, tapi itu hak pribadi individu masing-masing. Alasannya: "Yang penting gue datang mengambil surat suara yang menjadi hak-gue, untuk gue coblos sesuai keinginan gue. Ntar kalau gue nggak datang, kertas suara gue jadi kosong dan bersih. Bisa aja dipakai oleh orang-orang yang berkepentingan untuk melakukan sesuatu yang nggak bener. Kalau udah kucoblos begitu, kertas suaraku nggak bisa diapa-apain lagi toh. Cuma dihitung jadi kertas suara tidak sah aja."

Sudah bukan berita malu-malu lagi kalau banyak pihak-pihak yang "bermain" untuk memanfaatkan surat-surat suara yang kosong karena tidak dipergunakan oleh pemilihnya. Ada rumor yang mengatakan kalau surat suara kosong itu bisa "dijual" ke pihak-pihak yang membutuhkan, untuk mendongkrak jumlah suara. Logikanya, seapatis-apatisnya elu dengan jubelan partai di negeri kita ini, jauh di lubuk hatilu, elu pasti memiliki satu partai yang paling tidak elu sukai toh? Nah, gimana kalau kertas suara kosong elu itu malah "dipakai" untuk mendongkrak suara partai yang kamu benci itu? Rela? Gue sih, pasti nggak rela :)
Karena itulah gue selalu mengajak orang-orang di sekitarku (anggota keluarga, tetangga, dll) untuk datang memilih ke TPS. Kalau tentang siapa yang mau dicoblos di bilik suara, itu kembali ke nurani masing-masing. Mau di kelompok dengan surat suara sah atau sebaliknya di kelompok dengan surat suara tidak sah. Yang penting, surat suara elu terpakai karena itu sudah menjadi HAK elu sepenuhnya.

GOLPUT juga pilihan, kata sebagian besar orang. Itu tidak menjadi masalah, selama pilihan kita tidak mengganggu pilihan orang lain. Yang menjadi masalah adalah kalau sampai perbedaan prinsip ini sampai mengganggu hubungan pertemanan. Masa iya sih, yang sebelumnya berkawan akrab dan saling menyapa di Sosmed, tiba-tiba jadi saling menyindir dan menyudutkan hanya gara-gara berbeda pilihan cabubnya? Kadang ada yang berdebat terbuka lewat status di Facebook, sehingga semua orang di jaringan pertemanannya bisa membaca debat tidak sehat itu. Bahkan ada juga yang sampai delete contact di BBM. Kok rasanya tolol sekali ya. Sefanatik apapun kita terhadap cabub pilihan kita, tetap saja lebih penting hubungan pertemanan. Mengutip status salah seorang teman di sosmed: "Siapapun yang nantinya terpilih sebagai Bupati atau wakil bupati, tetap saja semua orang harus membeli beras dengan uang masing-masing."
Mau Bupati 1, bupati 2 atau bupati 3, tidak akan mengubah kenyataan kalau mereka tidak mengenal kita dan lingkungan pergaulan kita sehari-hari. Menang atau kalah, kita hanya akan masuk dalam kategori "angka peserta pemilu" toh. Jadi kenapa harus berkelahi seperti anak kecil? Malu-maluin saja.

Itu juga salah satu alasan kenapa gue memilih untuk tidak ikut memakai twitbon "I stand on whatever side" seperti yang lain. Selain karena itu bisa memicu suasana tidak enak dengan orang-orang di jaringan pertemanan yang ternyata tidak cukup "dewasa" untuk menyadari kalau orang lain juga berhak memilih hal yang berbeda darinya. Juga karena gue menganggap siapapun yang menjadi pilihan gue, tidak semua orang harus mengetahuinya. Ini politik. Orang bisa bicara A di muka, tapi melakukan B di belakang. Orang bisa gembar-gembor bilang memilih cabub "hantu" di sosmed, tapi ternyata mencoblos cabub "siluman" di hari-H #bukankode ya. Jadi, gak usah lebay dan euphoria lah. Dinikmati aja kemeriahan pilkada di th 2015 ini (yang katanya paling berwarna) dengan segala berita yang menghiasi timeline. Jangan sampai merusak pertemanan. Waktu masih panjang, tidak terhenti di tanggal 9 Desember saja toh.

Untuk twitbon, gue lebih memilih: "I Stand On The Bright Side" dengan harapan siapapun yang nantinya terpilih jadi bupati, harus bisa membawa kampungku ini ke sisi terang yang lebih bermartabat.

Berbeda pendapat itu sah-sah saja. Berbeda pilihan cabub juga tidak ada yang melarang. Tapi diperlukan sikap dewasa agar perbedaan itu tidak berubah menjadi perselisihan, sementara mereka yang diperebutkan masih bisa tersenyum dan saling berjabat tangan disana. Siapa yang tahu, kalau mereka yang terlihat berselisih di media itu, ternyata minum kopi sama-sama ketika tidak ada media yang meliput. Namanya juga politik. Tak semuanya itu seperti yang terlihat.
Share:

Belajar Mencintai Kritik

Sumber gambar: publicspeaking.co.id

Dialog yang jujur dan terbuka perlahan mengajarkan kita mencintai kritik. Tentu tidak mudah karena bertolak belakang dengan naluri alter ego kita yang narsis dan senangnya dipuji sehingga alergi dengan kritik.

Padahal kritik menstimuli filosofi continuous improvement atau kaizen. Kualitas produk semakin sempurna adalah berkat keterbukaan menyikapi kritik. Lantas kenapa kita enggan menggunakan kritik untuk perbaikan diri kita dan pemikiran-pemikiran kita?
Bukankah lebih pas setiap pemimpin berterima kasih terhadap anggota atau orang yang dipimpinnya yang telah sudi meluangkan waktu menyampaikan mengkritik? Kenapa sekali-sekali tidak terpikir terbalik, memberi kue atau bunga kepada yang mengkritik kita misalnya?

Saat kita telah bisa mencintai kritik, kita tak pernah lagi ragu menyampaikan pandangan kita, sekontroversi apapun itu sepanjang kita niatkan untuk kebaikan. Itu akan menjadi bagian dari karakter kita. Kita akan menyadari bahwa kritik itu merupakan buah pikir yang dipersembahkan publik agar pemikiran atau program yang dicanangkan pemimpin berhasil semakin baik.
Ini bukan perkara main-main. Ini karakter yang perlu kita bangun pada generasi saat ini dan terus dipertahankan saat memimpin suati lembaga atau organisasi yang kita cintai. Karakter ini akan membuat pemimpn semakin terbuka dan jauh dari sikap otoriter dan antikritik. Pemimpin akan terus tumbuh dan berkembang bersama-sama bila konsisten mampu memanfaatkan kritik untuk kebaikan dan perbaikan.

Pemimpin yang cepat mengakui kesalahannya, segera melakukan koreksi dan mengumumkan kesalahannya di depan umum, tanpa berpretensi menyalahkan pihak lain atau masa lalu adalah pemimpin dengan kepribadian menakjubkan. Pastilah ia akan dicintai, karena dihatinya hanya mencintai kebenaran dan kebaikan.

Sudahkah kita memilikinya?
Share:

Blora Dalam Potret Sejarah

Sumber gambar: penataanruangjateng.info

Menurut cerita rakyat, Blora berasal dari kata Belor yang berarti lumpur. Kemudian kata Belor berkembang menjadi mbeloran yang sekarang dikenal dengan nama Blora. Secara etimologis Blora berasla dari kata Wai dan Lorah (Wailorah). Wai berarti air dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa jawa, huruf W kadang berubah menjadi B, tanpa merubah arti katanya. Seiring dengan perkembangan zaman, kata Wailorah menjadi Bailorah, dari kata Bailorah menjadi Blora. Jadi nama Blora berarti tanah rendah berair, yang dekat sekali dengan pengertian tanah lumpur.

HJ. De Graaf dan TH. Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI menyebutkan bahwa Blora di masa lalu disebut Mendang Kamulan atau Medang Kamulan. Suatu tempat yang dalam mitos jawa sering disebut sebagai tempat asal keturunan raja-raja Jawa tertua.


Dalam teks Jawa seperti yang dikemukakan Daldjoeni (1984: 1478) yang dirujuk oleh Suryadi (1995; 79) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora. Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889a; 382) bahwa Medangkamulan teretak di sebelah timur Demak, seperti berikut: "Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas, punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkawelan, sawetaning Demak, sakuduling warung."


Blora berubah menjadi kabupaaten pada tanggal 11 Desember 1749, dengan bupati pertama bernama Wilatikta. Blora sekarang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jwa Tengah, sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro di sebelah timur, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobogan di barat.


Kabpaten Blora terdiri dari 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Blora. Di samping Blora, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup sidnifikan adalah Cepu, Ngawen, dan Randublatung. Cepu sejak lama dikenal sebagai daerah tambang minyak bumi, yang dieksploitasi sejak era Hindia Belanda. Blora menjadi sorotan internasional ketika kawasan Blok Cepu ditemukan cadangan minyak bumi sebanyak 250 juta barel. Bulan Maret 2006 Kontrak Kerjasama antara Pemerintah dan Kontraktor PT. Pertamina EP Cepu, Exxon Mobil Cepu Ld, PT Ampolex Cepu telah ditandatangani, dan Exxon Mobil Ltd ditunjuk sebagai operator lapangan, sesuai kesepakatan Joint Operating Agreement (JOA) dari ketiga kontraktor tersebut. Blok Cepu adalah daerah penghasil minyak bumi paling utamma di Pulau Jawa, terdapat bagian timur Kabupaten Blora.

Wilayag administrasi Kabupaten Blora seluas 1820,59 km (atau sekitar 182.058.797 ha), terdiri atas dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 96.00-280 m di atas permukaan air laut. baian utara merupakan kawasan perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan juga berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng, yang membentang dari tumur Semarang hingga Lamongan (Jawa Timur). Ibukota Kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan Pegunungan Kapur Utara.[5] Randublattung adalah wilayah kecamatan terluas (211,13 km), disusul kecamatan Jati (183,62 km), Jiken (168, 17 km) dan Todanan (128,74 km).

Sebagian besar wilayah Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air (baik untuk air minum mauoun untuk irigasi pertanian dan sejenisnya) pada musin kemarau, terutama di daerah pegnngan kapur. Sementara pada msim penghujan, berpotensi rawan longsor di sejumlah kawasan. Sebagian besar tanah di daerah ini cenderng tandus, dan hanya sebagian daerah yang cocok ntk pertanian. Oleh karena it, wajar apabila separuh dari wilayah Kabupaten Blora merpakan kawasan hutan (49,66%), baik berupa htan negara atau hutan rakyat, terutama di bagian tara, timur dan selatan.


Dataran rendah dibagian tengah ummnya merupakan areal persawahan (25,38%). Sisanya digunakan sebagai pekarangan, tegalan, wadk, perkebunan rakyat dan lain-lain (24,96%) dari seluruh penggnaan lahan. Kecamatan dengan areal hutan cukp las terdapat di Randublatung, Jiken dan Jati, masing-masing lebih dari 13 ribu Ha. Luas penggunaan tanah sawah terbesar di Kecamatan Knduran dan Kedngtuban (4.676,7590 Ha). Dua Kecamatan ini dikenal sebagai lumbng padi Kabupaten Blora.


Daftar Pstaka:
1.www.pemkabblora.go.id
2.H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa; Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cet. Iv, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001), h. 66
3.Anonim, Kelahiran Hanacaraka, dalam www.jawapalace.org.
4.www.wikipedia.com
Share:

Hobi paling mengasyikkan

Search: Google
Sibuk Membicarakanmu di Belakang
Nggak usah khawatir kalau orang ngomongin kamu dibelakangmu | berarti kamu masih di depan dan teruslah ada di depan :)

Setelah baca status tersebut, gue lebih semangat lagi untuk menjadikan hidup ini lebih bahagia, ceria dan berwarna dengan terus menambah peningkatan beserta kebaikan untuk setiap harinya.
Hilangkan rasa kekhawatiran atas apa yang orang lain bicarakan di belakang. Kita gak pernah tau apa yang orang lain bicarakan di belakang kita. kita hanya tau sebuah hasilnya seperti  teman, kenalan, kerabat dll tiba-tiba menjauhi, menjaga jarak bahkan memutus hubungan dengan kita. Luar biasa banget ya.

Kita pun sudah tau bahwa kita hidup selalu ada orang yang menyukai dan ada yang membenci. Kedua hal tersebut akan selalu ada, siapapun kita. karena kita menjadi orang baik selalu ada yang mencela begitupun orang jahat yang selalu ada pembela.
Don’t worry brother, kita cukup menjadi orang baik saja. Biarkan mereka sibuk membicarakan kita di belakang sedangkan kita sibuk untuk mencari kebaikan. Waktu terlalu singkat bila di habiskan untuk membicarkan orang lain.
Gue sangat mengerti bagaimana rasa sakitnya ketika kita di bicarakan di belakang. Karena gue pun pernah mengalami dan gue yakin masih banyak orang yang mengalami hal yang sama.

Bukan hanya orang yang tak mengenal kita yang membicarakan di belakang. Tapi seorang temanpun bisa saja yang menjadi pelakunya. Bahkan kejadian ini yang paling sering terjadi. Duuuuhhhh. . . . .
Begitulah terkadang seorang teman. Tega menghancurkan kita di belakang. Menceritakan ini dan itu dengan versi yang berlebihan. Kita tidak sadar dengan apa yang sudah dia bicarakan di belakang. Karena ketika di depan kita merasa bahwa dia baik-baik saja. Serasa teman benget. Padahal tidak demikian saat dia di belakang. Nyeseek nggaak.?
Entah apa yang dia fikirkan. Mengapa harus melakukan hal tersebut, padahal dengan temannya sendiri misalnya. Menjadi teman ketika berhadapan, menjadi lawan ketika di belakang. Namanya juga temen

Menceritakan segudang cerita kepada teman kita yang lain. Terus-menerus mempengaruhi teman yang lain agar “mau” sependapat dengannya. Kemudian sama-sama menjahui lalu mengajak teman-teman yang lainnya lagi untuk menjauhi.
Padahal dia lupa sudah berapa banyak kita menolongnya, dia lupa akan kebaikan yang pernah kita berikan kepadanya. Memang benar, bahwa kebaikan itu gampang untuk di lupa.
Karena 1000 kebaikan akan lenyap hanya dengan 1 kesalahan yang kita buat.

Namun kita jangan sampai jadi pribadi yang riya. Suka pamer akan kebaikan yang telah kita lakukan. Ketika hal tersebut sedang terjadi pada diri kita. kita gak usah sibuk membeberkan semua kebaikan kita pada orang lain. Sayang sekali, kebaikan yang kita beberkan tersebut bisa hilang. Karena mereka yang menyukaimu tak perlu itu, sedangkan mereka yang membenci tak akan percaya itu.

Biarkanlah dia membicarakan kita di belakang, kita cukup tau dan calm saja. Karena kadang ada orang yang lengkap ceritanya ketika dia sedang tersakiti, di omongin di belakangnya misalnya. Dia bercerita sangat rinci semua kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan. Yang seperti ini, semua kebaikannya akan hilang. Tidak bernilai apa-apa.
Seperti di perlihatkan siapa sebenarnya teman kita tersebut. Kita akan di tunjukkan apa yang dia lakukan di belakang kita. Bisa di katakan itu adalah salah satu balasan dari amal kebajikan kita.

Biasanya orang yang hobinya ngomongin orang di belakang, kehidupannya tidak tenang. Dia akan mengatakan kepada teman yang lain yang itu juga teman kita. “eh, dia ada ngomongin aku gak?. Gakpapa bilang aja. Dia ada jelek-jelekin aku kah?.”
Padahal membicarakan hal lain lebih penting daripada membicarakan dia. Mengapa dia seperti itu?. karena dia suka ngomongin orang. Sehingga dia merasa bahwa ada orang lain juga yang ngomongin dia.

Semua akan kembali kepada diri masing-masing. Kita baik maka kebaikan akan datang. dan begitu pula sebaliknya, kita buruk maka keburukan pun yang akan datang. It's your choise. Ya seperti kejadian tersebut, pasti suatu hari nanti akan ada yang begitukan dia entah siapa sampai dia mau berubah.
Ngomongin orang sama sekali gak ada manfaatnya. Tidak akan menghasilkan apa-apa. Dari ngomongin orang gak akan mungkin muncul uang dari langit. Seperti yang saya katakan tadi. Waktu terlalu singkat bila di habiskan untuk membicarkan orang lain.
Selain dapat dosa, juga dapat gelar seperti tukang gunjing, tukan gosip, tukang hasud dll. Bagi kita mah, di omongin teman sendiri bagai angin yang berlalu aja. Tetap calm, tetap fokus dengan kebaikan. Sebenarnya kita ada di depan dan dia selalu di belakang. Mikirin omongan orang lain gak bakal buat perut kenyang. jadi buat apa di pikirin?. Hebat bener gue. :)

Terkadang kita harus siap merasakan sakit hati ketika menerima sebuah kenyataan. Kenyataan yang menyakitkan seperti teman yang sudah sangat kita percaya, ternyata berlaku tega di belakang kita.
Tapi jangan sedih, itu jauh lebih baik daripada kita terus bersamanya dan tidak tau apa-apa. Sesungguhnya Tuhan itu sangat sayang kepada kita. ^^


Salam dari gue, si Siluman Kampus :)
Share: