Iblis Berukuran Sembilam Senti

Bulan sudah mulai meninggi mengenakan gaun malam nan indah menghias diri dengan taburan bintang gemintang Purnama hampir habis bulan ini terlihat dari pantulan cahaya air telaga belaian lembut dan hening kesunyian yang memberiku banyak pilihan Aku masih terduduk sendiri di depan kamarku yang tak pernah rapi yang disekelilingku dipenuhi dengan ratusan zat - zat beracun yang dipadatkan menjadi iblis berukuran sembilan centi. Berasap, kepulan asap iblis ini masih mondar mandir dirongga mulutku dan tentu saja paru - paruku. Ada yang keluar dan pastinya ada juga yang bersemayam didalamnya, tiap saat bertambah, bertambah dan akan terus bertambah. Seorang dokter pernah menganjurkan bahkan sampai memperingatkanku untuk sesegera mungkin menceraikan dan meninggalkan iblis mungil nan cantik ini, menurutnya dia bisa membunuhku, dia bisa mengikis perlahan usiaku detik demi detik, menit ke menit dan jam ke jam.

” Berhentilah dan mulai tinggalkan kebiasaan merokok karena zat - zat beracun yang terkandung didalamnya bisa menimbulkan berbagai macam penyakit berbahaya dan bahkan mematikan, mulai sesak nafas dan dada yang seperti ditusuk tusuk yang anda sering rasakan karena Bronkhitis kronik yang sudah bersemayam diparu - paru anda, mungkin jika anda tidak segera manghentikan kebiasaan merokok anda dan bla..bla.. blaa ”

Begitulah setiap dokter yang aku temui, mereka selalu me replay kata - kata yang sama. Bagiku kata - kata itu lebih membuatku merasa sesak.
Ah, peduli amat buktinya beberapa dari mereka kutemukan asbak dimeja, untuk apa tentunya bukan untuk menampung empedu atau cairan infus bukan, menampung ludah barangkali, ya ludah yang mereka jilati sendiri.
Tapi selalu ada yang mereka menyebutnya iblis mungil yang selalu setia kucumbu dan tak pernah pergi dari sisiku, jadi persetan dengan cinta.
Sekarang cinta hanyalah seperti gaung dikekosongan.
Seperti sendak dikerongkongan, atau Hanya seperti luka diujung lidah
Tak lebih dari semua yang kelu dan bisu
Ingin sekali kutampar mulut – mulut disana yang menyuarakan cinta, agar kalian mengerti cinta itu hanyalah sebuah gema, tak lebih hanya gaung, ya gaung.
Atau mungkin akulah yang terlalu banyak mengenakan daun ara hanya untuk menutupi ketelanjanganku akan cinta? Karena aku hanyalah segumpal daging yang menutupi tulang belulang.
Hanya langkah tanpa arah. Dan ketika jemari waktu menggelitikku, aku baru sadar air mata menyendak kerongkonganku.


Aku terjaga saat semua redup dan lelap, saat semua kelu dan bisu. Dan aku masih duduk didepan kamarku dengan bergumpal - gumpal penyakit yang mengelilingiku.
Mereka seperti iblis cantik yang selalu merayuku setiap siang, setiap malamku, setiap saat dan setiap jengkal dari waktuku.
Ah, masa bodoh dengan semua itu, dengan racun ditanganku, dengan penyakit disekelilingku dan dengan apapun namanya semua itu.
Aku memang bukan lelaki perkasa, terutama jika berhadapan dengan cinta.
Apalagi jika perasaan yang begitu menjijikan dan lebih pantas disebut mengerikan itu kini berubah menjadi seperti siksaan.
Memang aku telah berhenti mencari, tapi sebenarnya bukan itu.
Cinta memang seharusnya abadi tapi hati ini harus menemukan alasan yang tepat agar cinta dapat diterima dengan lapang dada.


Dan kembali lagi iblis ini merayuku, ingin sekali aku berontak dan segera pergi.
Tapi buih - buih percintaan kami telah bersemayam dalam paru - paruku.
Hingga kali ini kurasakan percintaan yang dingin, pecumbuan yang tak lagi kurasakan kenikmatan didalamnya dan kini aku merasa seperti diperkosa olehnya.
Wahai iblis mungil berukuran sembilan senti teman setiaku dan penungguku cawan saat bahagia menyapaku air mata saat sedih menamparku keras,
Terpujilah engkau yang mencoba maninabobokkanku yang selalu menghinggapi ragaku kemudian membunuhku dengan rentetan penyakit dari perapianmu, asapmu.
Sungguh tak pantas jika aku kemudian mempersalahkan Tuhan yang telah memberiku cinta.
Meski seringkali cinta itu malah menamparku daripada membelaiku, meski lebih sering ia menghujatku dari pada memujiku, ya cinta.
Terkutuklah aku jika mempersalahkan Tuhan seperti aku mengutuk iblis mungil yang terapit diantara jemariku.
Meski asapmulah yang dikemudian hari akan membunuhku, dunia tidak akan berhenti sampai disitu hanya karena itu, dan karena aku sendirilah yang memanggil mautku,
ditarikan nafasku, iblis bertanduk, monster ganas atau apapun yang tak pantas terucap untuk itu, yang datang ditiap jengkal langkahku, tiap sudut dari pandanganku, tiap detail dari kata - kataku, dan di setiap saat dari waktuku.
 

Apakah kau juga akan meninggalkanku,
mencampakkanku wahai kau yang terapit diantara jemariku,
seperti cinta yang telah meninggalkan hatiku dengan menyisakan lubang luka disana,
meredupkan cahayanya, seperti lentera yang meninggalkanku.
Tapi aku tidak akan berhenti begitu saja sampai disitu. Aku akan terus mencari meski raga ini mengejang dan tenggorokanku meradang.
Aku akan terus mencari cintaku,
memburunya dan mendekapnya dihatiku, meski kau tak lagi disampingku.
Adakah yang dapat menunjukanku jalan,tanpa lentera ditanganku
tanpa arah didepanku - bahkan disampingku
 

 

Jawablah !
Jawablah wahai kau yang terapit diantara jemariku.

Share: