Menunggu Dengan Melupakan Adalah Dekat, Sedekat Jantung Dengan Detaknya


Ya, satu kata kunci yang dipakai jutaan umat manusia ketika ingin bangkit dari kegagalannya. Termasuk dalam urusan cinta, melupakan digadang-gadang sebagai satu-satunya cara untuk bisa bangkit dari kekecewaan.

Tapi apakah nyatanya akan benar-benar melupakan?
Tidak.

Begini ceritanya, gue pernah baca di artikel kesehatan dan psikologi bahwa ingatan manusia dibagi menjadi dua bagian, short term memory (STM) dan long term memory (LTM). Short term memory menyimpan informasi-informasi yang baru saja diterima oleh otak dan jangka waktu diingatnya tidak panjang. Untuk memperpanjang jangka ingat suatu informasi di otak, kita perlu mengucapnya berulang kali, membacanya secara seksama, atau menulisnya kembali sebagai catatan. Hal-hal tersebut dinamakan rehearsal atau lebih sederhananya disebut, menghapal.

Ya, hal-hal sederhana di atas sudah sering kita lakukan sejak kecil, sejak bersekolah di tingkat yang paling dasar sekalipun, kita selalu diajari bagaimana caranya menghapal dan mengingat banyak hal. Informasi yang kita terus olah dengan kembali membacanya, kembali mengucapkannya, dan menulisnya sebagai catatan, dianggap oleh otak menjadi informasi yang penting dan akhirnya “naik kelas” menjadi long term memory. Itulah sebab kita tak akan lupa nama ibu, nama ayah, alamat tempat tinggal, tanggal jadian, tanggal gebetan putus dengan pacarnya, hari di mana nembak terus ditolak, dan masih banyak lagi.

Walau jatuh cinta tidak mampu diproses oleh otak, melainkan melalui reaksi kimia berupa hormon, toh pada akhirnya reaksi-reaksi kimia yang terus-menerus akan menjadi long term memory. Ya, akan disimpan sebagai ingatan jangka panjang. Itulah mengapa agama selalu mengingatkan kita kepada kebaikan, karena laut, awan, gunung, hujan, dan pelangi hanya akan mengingatkan kita kepada mantan.

Dari kecil selalu diajari mengingat, lantas begitu putus cinta malah berusaha melupakan? Aku pandai mengingat, kamu pandai membuat kenangan, lantas ketika aku tidak bisa melupakan, siapa yang harus disalahkan?

Saat ujian, kita selalu berusaha mengingat pelajaran yang telah dipelajari selama satu semester penuh, atau bahkan yang baru dipelajari malam harinya. Tapi kenapa saat ujian berlangsung kita tidak berniat untuk melupakan? Takut tidak bisa mengerjakan ujian? Bukannya putus cinta atau kecewa juga merupakan ujian? Kenapa kita bersikeras untuk melupakan? Apa karena kita hanya ingin lari dari ujian?

Atau mari kita tengok mereka-mereka yang mendekam di rumah sakit jiwa atau yang punya gangguan mental. Dari wajah bingung mereka, kita akan mampu tangkap bahwa mereka tengah berjuang keras untuk satu hal: mengingat. Ya, mereka berjuang untuk mengingat siapa yang mereka sayangi, siapa yang mereka benci, dan siapa sebenarnya diri mereka.  Suatu hal yang sekarang kita punya, yang nyatanya kau perjuangkan, untuk aku yang ingin kau lupakan.

Pada akhirnya, melupakan hanya menjadi kiasan. Tak ada yang benar-benar mampu melupakan seperti yang terjadi pada mereka yang kehilangan ingatan. Kejadian tak bisa melupakan sangat mudah ditemui pada perempuan. Seperti yang sudah gue tulis di atas, cinta merupakan proses kimia yang melibatkan hormon. Seperti hormon dopamine, serotonin, endorphin dan masih ada juga yang lain. Hormon-hormon itu yang membuat kita senang, sedih, kangen, galau, horny, dan sebagainya.

Dan yang paling fatal adalah hormon oksitosin. Hormon yang menyebabkan seorang ibu akan selalu terikat dengan anaknya, hormon yang dihasilkan seorang ibu dengan kadar yang sangat besar ketika melahirkan. Hormon yang juga dikeluarkan perempuan dengan kadar yang tak kalah besar ketika berhubungan seks, setelah melakukannya, perempuan akan merasa terikat oleh pasangannya. Dari sanalah asal-muasal kenapa perempuan, menurut gue, adalah makhluk yang tidak tercipta untuk melupakan. Naluri mereka adalah mengingat, mengenang, walau pada akhirnya air matanya yang jatuh dan menggenang.

Buat gue, melupakan sebagai satu-satunya cara berpindah atau move on bukanlah menjadi cara yang paling baik, karena tiada yang benar-benar mampu melupakan. Kita diberi otak untuk mengingat, tanpa diberi tahu cara untuk menghapusnya salah satu bagiannya saja.

Bersikeras kita saling melupakan, namun Tuhan tetap mempertemukan kita dalam ingatan.
Sekali lagi, melupakan adalah kias, hanyalah kata yang digunakan untuk memangkas kalimat-kalimat  panjang yang menghias proses berpindah. Soekarno pun telah jauh-jauh hari mengamini anggapan gue ini dengan kalimat mahsyurnya, “JAS MERAH, Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah.”



Sebab caramu memperlakukan kenangan, adalah caramu menghargai masa lalu.
Share: