Ingin Menghilangkan Kata "Marah"

Pada awalnya aku percaya setiap emosi diciptakan untuk sesuatu yang baik, sesuatu yang memang memiliki manfaat bagi individu yang merasakannya, bahkan emosi negatif sekalipun. Tapi entah sejak kapan, percaya itu menjadi sekedar kata, dan kata itu pun hilang tertelan potensi kognitif.
Aku menghapus kata “marah” dalam diriku. Berpikir bahwa tanpa kata itu aku tidak akan pernah lagi merasa marah. Berpikir bahwa tanpa kata itu aku akan lebih bijak untuk menyatakan kekecewaan dan bukan luapan amarah. Berpikir, setidaknya, aku akan lebih menikmati hidup tanpa lebih banyak emosi negatif dalam diriku.

Awalnya aku berjuang untuk berkata “aku kecewa” dan bukannya “aku marah” meski rasa sesak yang kurasa lebih dari sekedar kecewa, tapi seiring waktu aku semakin ‘mahir’ dan secara otomatis masuk dalam mode “tidak marah” kapan pun aku merasakan situasi yang tidak sesuai dengan inginku.
Apa gunanya sih marah itu? Bertahun-tahun hidup dengan emosi marah yang kudapatkan hanya luapan-luapan emosi berlebihan yang sebenarnya hanya bentuk kekecewaanku. Berlebihan bila kejadian yang kualami disebut marah, harusnya itu hanya disebut kecewa saja, bukan marah. Mereka yang menyebut diri bijak juga berkata tak ada gunanya marah itu. Tidak akan menyelesaikan masalah, justru hanya akan menambah masalah. Mari kita hapus saja kata ‘marah’ dalam kamus kehidupan.

Tanpa marah, emosi yang menyesakkan diriku adalah kecewa, kecewa, dan kecewa. Entah intensitasnya seberapa, entah hatiku terluka seberapa parah, aku hanya akan berkata “aku kecewa”. Tidak (boleh) ada nada tinggi dalam ucapanku. Tidak (boleh) ada rasa geram dan getir dalam hatiku. Semua itu harus dihapuskan seiring kata ‘marah’ yang menghilang. Dan ketika semua sudah tidak dapat ditahan, katakan saja “Ya sudahlah”, seakan masalah langsung berlalu, seakan emosi langsung menyurut.

Tapi, apakah “Ya sudahlah” menuntaskan rasa sakit yang kurasakan? Apakah “Ya sudahlah” membuatku mampu melangkah dengan ringan? Ternyata aku hanya mengorbankan hatiku untuk lebih terluka dengan kekecewaan dan rasa marah.
Iya, ternyata marah tidak hilang dari diriku, aku hanya memendamnya. Begitu dalam rasa marah itu terpendam hingga membuatku kehilangan rasa-rasa yang lain. Aku bingung perbedaan rasa “kecewa” dan “marah”. Aku bingung dengan rasa “bersalah” dan “menyalahkan diri sendiri”. Aku bingung dengan menjadi “lemah” dan “berterus terang”. Aku bingung dengan “menjadi diriku sendiri”.

Aku ingin marah. Rasa yang teramat ini sudah tidak bisa dikatakan “sekedar kecewa”. Rasa ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan berkata “Ya sudahlah”. Bukan ingin menghujat Tuhan dengan rasa “tidak bersyukur”, justru aku ingin sangat mensyukuri keadaan diriku meskipun dalam situasi “marah”.

Tuhan, aku ingin marah. Aku ingin menunjukkan kecewaku karena disakiti, ketidak-puasanku akan sesuatu, kekesalanku karena diperlakukan tidak adil. Aku ingin marah dan menikmati rasa marahku. Aku ingin jujur pada diriku hingga aku mampu menerima diriku seutuhnya, yang juga memiliki rasa “marah”.
Seperti halnya rasa senang, rasa sedih diciptakan juga karena memiliki makna dan untuk dinikmati.
Seperti halnya rasa bersyukur, rasa marah juga memiliki peran dalam hidup manusia. Aku boleh dan bisa marah…
Share: