Ingin Menghilangkan Kata "Marah"

Pada awalnya aku percaya setiap emosi diciptakan untuk sesuatu yang baik, sesuatu yang memang memiliki manfaat bagi individu yang merasakannya, bahkan emosi negatif sekalipun. Tapi entah sejak kapan, percaya itu menjadi sekedar kata, dan kata itu pun hilang tertelan potensi kognitif.
Aku menghapus kata “marah” dalam diriku. Berpikir bahwa tanpa kata itu aku tidak akan pernah lagi merasa marah. Berpikir bahwa tanpa kata itu aku akan lebih bijak untuk menyatakan kekecewaan dan bukan luapan amarah. Berpikir, setidaknya, aku akan lebih menikmati hidup tanpa lebih banyak emosi negatif dalam diriku.

Awalnya aku berjuang untuk berkata “aku kecewa” dan bukannya “aku marah” meski rasa sesak yang kurasa lebih dari sekedar kecewa, tapi seiring waktu aku semakin ‘mahir’ dan secara otomatis masuk dalam mode “tidak marah” kapan pun aku merasakan situasi yang tidak sesuai dengan inginku.
Apa gunanya sih marah itu? Bertahun-tahun hidup dengan emosi marah yang kudapatkan hanya luapan-luapan emosi berlebihan yang sebenarnya hanya bentuk kekecewaanku. Berlebihan bila kejadian yang kualami disebut marah, harusnya itu hanya disebut kecewa saja, bukan marah. Mereka yang menyebut diri bijak juga berkata tak ada gunanya marah itu. Tidak akan menyelesaikan masalah, justru hanya akan menambah masalah. Mari kita hapus saja kata ‘marah’ dalam kamus kehidupan.

Tanpa marah, emosi yang menyesakkan diriku adalah kecewa, kecewa, dan kecewa. Entah intensitasnya seberapa, entah hatiku terluka seberapa parah, aku hanya akan berkata “aku kecewa”. Tidak (boleh) ada nada tinggi dalam ucapanku. Tidak (boleh) ada rasa geram dan getir dalam hatiku. Semua itu harus dihapuskan seiring kata ‘marah’ yang menghilang. Dan ketika semua sudah tidak dapat ditahan, katakan saja “Ya sudahlah”, seakan masalah langsung berlalu, seakan emosi langsung menyurut.

Tapi, apakah “Ya sudahlah” menuntaskan rasa sakit yang kurasakan? Apakah “Ya sudahlah” membuatku mampu melangkah dengan ringan? Ternyata aku hanya mengorbankan hatiku untuk lebih terluka dengan kekecewaan dan rasa marah.
Iya, ternyata marah tidak hilang dari diriku, aku hanya memendamnya. Begitu dalam rasa marah itu terpendam hingga membuatku kehilangan rasa-rasa yang lain. Aku bingung perbedaan rasa “kecewa” dan “marah”. Aku bingung dengan rasa “bersalah” dan “menyalahkan diri sendiri”. Aku bingung dengan menjadi “lemah” dan “berterus terang”. Aku bingung dengan “menjadi diriku sendiri”.

Aku ingin marah. Rasa yang teramat ini sudah tidak bisa dikatakan “sekedar kecewa”. Rasa ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan berkata “Ya sudahlah”. Bukan ingin menghujat Tuhan dengan rasa “tidak bersyukur”, justru aku ingin sangat mensyukuri keadaan diriku meskipun dalam situasi “marah”.

Tuhan, aku ingin marah. Aku ingin menunjukkan kecewaku karena disakiti, ketidak-puasanku akan sesuatu, kekesalanku karena diperlakukan tidak adil. Aku ingin marah dan menikmati rasa marahku. Aku ingin jujur pada diriku hingga aku mampu menerima diriku seutuhnya, yang juga memiliki rasa “marah”.
Seperti halnya rasa senang, rasa sedih diciptakan juga karena memiliki makna dan untuk dinikmati.
Seperti halnya rasa bersyukur, rasa marah juga memiliki peran dalam hidup manusia. Aku boleh dan bisa marah…
Share:

Di Masa Itu

Hari ini sehabis Magrib aku bertemu dengan guruku, guru disaat membinmbingku waktu di bangku Tsanawiyah. Cukup lama kita berbincang ditengah Alon-alon Kabupaten Blora, tapi ada bebrapa perbincangan yang cukup membuat fikiranku gusar sampi saat ini. Saat aku ditanya oleh guruku, “Pernah engkau merasa ingin kembali ke masa lalu untuk merubah suatu keadaan?” ia menatapku, bukan tatapan yang menginginkan sebuah jawaban segera, tapi tatapan yang menginginkan kejujuran.

Aku mengangguk, wajahku tertunduk. “Tentu, tentu aku pernah menginginkan tentang semua yang pernah aku lakukan, ini suatu kodrat yang tak satupun manusia tak merasakannya” umpatku dalam hati sambil mencabut rumput yang ada di sekelilingku.

Guruku tersenyum sambil menatapku. Ia terdiam cukup lama, seakan ia mendengar jelas umpatan yang aku katakan barusan dalam hati. “Tapi, sungguh ia mampu mendengar apa yang aku umpatkan barusan?” pertanyaan itu tak henti-hentinya menggaung dalam kepalaku.

Lalu ia menarik nafas bersiap untuk berbicara “Ini bukan tentang agama yang ingin ku sampaikan, bukan tentang bahwa kita harus menyesali kesalahan yang ada dalam masa lalu kita dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi dikemudian hari” ia tertahan, nafasnya sedikit tersengal, sudah lama guruku tak berbicara panjang lebar.

“Aku sudah bertemu banyak orang yang terlalu larut dalam kesedihan mengenai masa lalunya, ia terjerembab namun tak mampu bangkit, ia berusaha namun tak ada yang bisa memapahnya. Aku ingin memberi tahu engkau tentang masa lalu dari pengalamanku” Ia menghembuskan, lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk berbicara.

“Pernah aku tertegun pada masa lalu, aku ingin kembali pada masa itu karena bagiku itu masa-masa yang sangat indah dan menyenangkan. Masa saat tubuhku ini masih kuat untuk berjalan jauh, saat aku masih bisa menatap istriku tercinta setiap pagi saat aku membuka mata, saat aku melihat anak-anakku tumbuh dewasa. Namun itu sudah menjadi masa lalu”. Ia berkaca-kaca, terlebih saat bercerita tentang istrinya yang meninggal 4 tahun yang lalu.

Ia menatap pohon beringin yang berdiri tak jauh dari ia duduk sekarang, ia menatap dengan seksama. Lalu ia menunjuk pohon itu “Engkau lihat pohon beringin itu, semakin hari pohon ini semakin tinggi, hingga ia tak mampu lagi tumbuh tinggi. Tapi ia penuh dengan pengalaman saat berusaha tumbuh, ia menjadi lebih kuat, makin hari dahannya makin lebat, batangnya makin kokoh, akarnya menghujam makin dalam. Ia lebih kuat”

“Belajarlah dari pohon beringin itu, ia tumbuh besar dan tak pernah berharap kembali ke masa lalu. Karena masa lalu adalah kondisi yang lemah, dan saat ini ia semakin menjadi lebih kuat. Beringin selalu belajar untuk memperkuat dirinya setiap hari” Ia menghela nafas, semakin cepat saja guruku ini bernafas.

“Ingat Ka, aku adalah gurumu yang mengagumi semua kemampuanmu, tapi, jika manusia ingin kembali pada masa yang sudah terlewati, ia belum sepenuhnya memahami bahwa masa itu tak lebih kuat dari masa ia sekarang berada. Yang perlu ia lakukan adalah mensyukuri ia masih diberikan kesempatan untuk menciptakan masa lalu sesuai keinginan masa depannya” Guruku menghembuskan nafas tanda ia menyudahi obrolan malam ini, lalu ku amati ia menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, ada dua cincin di jari itu.

Aku terdiam, masih terdiam sambil mengamati guruku dan sesekali mencabut rumput sekelilngku dengan perasaan gusar.
Share:

Sejarah akan terulang kembali

Kata itu tak pernah punya makna yang berarti buat saya. Sejarah akan terulang, dengan pelaku yang berbeda, output-nya juga berbeda, so what? Njuk ngopo?...... kira-kira begitu pikir saya.
Sebelum masuk ke tema ‘sejarah’, saya sepertinya tidak tahan kalau tidak berkomentar tentang bingkai di mana ‘sejarah’ ini bergolak. Secara implisit dan eksplisit,bacaan ini banyak meletakkan titik persoalan dari kacamata bingkai Indonesia. Yaitu sebuah negara di Asia Tenggara, kenyang dijajah, merasa merdeka, dan merasa lahir tak lama setelah bom atom meledak di negeri salah satu penjajahnya.
Setelah merdeka. Melalui pendidikan dasar, menengah, sampai tinggi, di benak kita ter-bangun persepsi bahwa penjajahan selalu identik dengan penindasan.
Dan penindasan terkonotasi dengan perbuatan sewenang-wenang untuk memaksakan kehendak. Hmm...
Jadi, kalau memaksakan kehendak dengan alasan yang ‘mulia’ dan tidak terlihat sewenang-wenang, kata ‘memaksakan kehendak’ menjadi tidak terlalu ‘menjajah-menjajah’ amat,‘gitu?
Di sini terlihat perkembangan paradigma yang sangat menarik. Ada rumus baru untuk menjajah secara ‘halal’, menjajah yang bebas hujatan, bahkan menjajah dengan sebuah cara, sehingga yang dijajah tak merasa terjajah. Yaitu memaksakan kehendak dengan motif atau alasan yang (seolah-olah) tepat alias mulia. Cara kekerasan untuk menjajah sudah kuno dan terlalu kasar.

Sayangnya,  cara  pandang  kita  sendiri  belum  dirombak  untuk memahami fenomena baru ini. Padahal seharusnya tidak terlalu sulit untuk menilai sesuatu sebagai bentuk penjajahan atau bukan. Yaitu menilai kembali apa yang digemborkan sebagai ‘mulia’, yang menjadi dasar ‘pemaksaan terselubung’ tersebut. Menilai sendiri! Tidak hanya mengadopsi.
Beberapa buku yang pernah saya baca  memaksa  saya  membuka  catatan-catatan  lama  tentang matinya  industri  minyak  kelapa,  garam  dan  industri-industri  ‘asli’ Indonesia. Sangat tidak ingin saya menyimpulkan dengan gegabah dari hasil penggalian-penggalian tersebut, tetapi sering sekali kesimpulan-kesimpulan itu datang sendiri seperti curahan hujan di mendung yang kelam (maaf kalau lebay). Bagaimana kedaulatan yang saya percayai sejak saya bisa ikut upacara bendera dulu, ternyata tak lebih bisa dipercayai dari cerita kancil mencuri timun. Cerita anak-anak belaka.
Motif  saya  sederhana,  bukan  teori  konspirasi  atau  pelarian  anak bangsa  yang  frustrasi(walaupun  sesungguhnya  agak  frustrasi  juga). Saya hanya tidak mau dijajah lagi. Apa pun bentuknya: fisik, ideologi, ekonomi, atau entah nanti apa lagi. Dan langkah pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi. Jangan-jangan, selera musik yang saya dengarkan pun hasil dari penjajahan secara halus. Lantas apa yang menjadikan diri kita adalah kita? Ini, jujur saja, meresahkan saya.
Bukan tentang pro dan kontra, tetapi dalam mencoba memandang sesuatu dari sudut yang lebih lebar, dan melihat pada lapisan yang lebih dalam.
Terutama tentang carut-marutnya perdebatan sikap kita terhadap rokok; maaf, terhadap kretek.
Dari pembahasan tentang kretek ini saja, saya merasa diberi peer  besar. Apakah  tugas  saya  sebagai  generasi  (yang  merasa)  muda, benar-benar mengisi kemerdekaan? Atau sebenarnya kita malah belum merdeka? Apakah perjuangan menuju kemerdekaan itu sendiri belum selesai? Karena definisi penjajahan pun dinamis dan tidak pada satu
sudut, cara, dan jarak pandang saja.
Pertanyaan ini jelas mengganggu saya.
Share:

Hakikat Pengorbanan

Kita tak selalu bisa mendefinisikan pengorbanan. Karena kita tak pernah melakukan perhitungan secara matematis pengorbanan apa yang sudah atau orang lain lakukan untuk kita, dalam kehidupan manusia tak ada yang bisa membantah kalkulasi definitif matematis. Tapi apakah ada matematika untuk berkorban?

Tak salah jika pengorbanan bukan perhitungan, karena memang seperti itu seharusnya. Tapi apakah ada orang yang hitung-berhitung dalam pengorbanan? Tentu akan selalu ada orang seperti itu terlebih saat keikhlasan tak menyertai perbuatannya atau saat ia kecewa akan hal yang sedang ia perjuangkan.

Perhitungan akan mengaburkan tuntutan yang kita inginkan, karena segala hal yang kita lakukan tak ada yang terukur secara pasti. Apakah kita bisa mengatakan bahwa belajar 10 jam semalam suntuk adalah pengorbanan yang pantas untuk kita beri nilai 10 dibandingkan dengan belajar 10 jam terbagi dalam 7 hari? Sekarang kita kabur akan makna pengorbanan tersebut.

Maka Tuhan menghadirkan rasa ikhlas dan syukur. Aku memang bukan pendakwah yang tahu seluk beluk agama, namun aku mencoba belajar untuk ikhlas dalam melakukan berbagai hal tanpa menyebut itu sebagai pengorbanan dan tanpa melakukan coretan-coretan perhitungan setelahnya. Aku berusaha menghadirkan keikhlasan meskipun itu tak mudah, dan bersyukur yang memang sangat sulit.

Hingga detik inipun, aku masih belajar syukur, dimana aku sadar ketika berbagai hal yang sudah ku lakukan perlu untuk mendapatkan apresiasi syukur tertinggi, karena Tuhan masih memberi aku kesempatan untuk belajar dan memperbaiki. Ikhlas dan syukur bagiku merupakan kata lain dari ketenangan dalam hidup.

Aku tak pernah bisa mengukur pengorbanan yang dilakukan oleh keluargaku, oleh Ibuku misalnya. Yang bisa ku lakukan adalah melakukan apa yang sudah aku jalani hingga saat ini sebaik mungkin, bukan semata untuk membalas pengorbanan yang sudah beliau lakukan, namun lebih menunjukkan penghargaan agar ia lebih mudah bersyukur tentang apa yang sudah ia lakukan untukku. Aku ingin menghargai apa yang sudah beliau lakukan dengan sebaik mungkin.

Hal paling penting dalam pengorbanan adalah berusaha untuk menghargai, jika sudah tak ada rasa sedikitpun untuk menghargai maka sudah tak ada yang berarti, juga dalam hal lain aku pun berusaha memahami bahwa setiap lelaki baik-baik tahu kapan ia harus mundur dan memutuskan untuk berhenti.
Share:

DESAKAN UNTUK BUBARKAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI)

Hizb ut Tahrir atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan organisasi politik yang sedang berupaya mendapatkan kekuasaan dan menguasai umat Islam atas nama Khilafah Islamiyah yang mereka cita-citakan.

Kelompok ini mengklaim berdiri pertama kali di Palestina meskipun secara resmi sebenarnya berdiri di Yordania. Saat ini, Hiz ut Tahrir berpusat di Inggris. Dari sana mereka memantau perkembangan HT diseluruh dunia.
Kelompok ini didirikan oleh Taqiyddin bin Ibrahim an-Nabhani. Dia dilahirkan tahun 1909 M di Desa Ijzam yang terletak di sebelah selatan Kota Jifa, Yordania. Dia banyak terpengaruh oleh kakeknya, Yusuf Isma’il an-Nabhani yang dikenal dengan pemikiran sufinya dan permusuhannya kepada Salafush Shalih sebagaimana di dalam banyak tulisan-tulisannya seperti Syawahidul Haqqi fi Istighatsah Bisayyidil Khalqi.

Pada tahun 1952 dia mengajukan permohonan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania untuk mendapatkan izin bagi partainya yang bernama Hizbut Tahrir al-Islami, tetapi permohonannya ditolak. Sesudahnya, kelompok Hizbut Tahrir melakukan aktivitas politik secara rahasia.

Taqiyuddin an-Nabhani meninggal pada tanggal 10 Desember 1977 di Lebanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak yang menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, di antaranya :
- Nizhamul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)
- Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
- Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
- Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan Dalam Islam)
- At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai)
- Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam)
- Nida’ul Har ila Alamil Islami (Seruan Kepada Dunia Islam)

Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab diatas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat Mu’tazilah (lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 282 dan Mausu’ah al-Muyassarah hlm. 344).

Di Indonesia, HTI masih dirangkul oleh pemerintah sehingga terdapat sebagai salah satu organisasi masyarakat (ormas) dinegara yang dianggap oleh HTI sebagai negara kufur (negara bersistem kafir). Pandangan HT tersebut bertentangan dengan pandangan mainstream umat Islam yang mengakui Indonesia (NKRI) sebagai sebuah negara yang sah secara hukum Islam (syari'at).

Berpijak dari pandangan mengkufurkan NKRI, HTI terus berupaya untuk mengubah NKRI menjadi Khilafah Islamiyah yang diklaim sebagai kelanjutan daripada Khilafah Nubuwwah. Segala usaha dikerahkan oleh HTI untuk tujuan Khilafah mereka. Disisi lain, mereka tidak mengakui Khilafa lainnya seperti yang diklaim oleh kelompok Khilafatul Muslimin, Khilafah IS (ISI) dan lainnya.

Ide pemikiran luar biasa HTI dimulai di negeri asal yakni di Yordania oleh Taqqiyudin An Nabhani. Hizbut Tahrir dirintis dan langsung menolak segala konsep aturan-aturan yang ada di negeri asalnya. Menganggap negerinya kufur dan dia pun menyatakan tidak pernah untuk patuh dan taat terhadap semua aturan yang ada, karena Keras dan lantang langsung memberikan dampak bagi organisasinya. Singkat cerita akhirnya Hizbut Tahrir pun dilarang beredar dan ditetapkan sebagai Organisasi terlarang di Yordania.

Luar biasa, walaupun sudah dilarang di negeri asalnya tapi organisaasi tersebut mampu untuk mengepakkan sayapnya ke seantero dunia. Hizbut Tahrir merambah ke Indonesia sejak 1981 melalui Ustad Abdurrahman Al Baghdadi di Bogor. Pengembangan HTI menjadi organisasi politik menempuh jalan radikal dan keras menantang sistem-sistem di bumi Indonesia, sama seperti di negeri asalnya.

Landasan Idiil Indonesia (baca: Pancasila) diciptakakan oleh Founding Father (baca: Soekarno) untuk dijadikan pedoman bangsa. Saat masa orde baru bahkan Pancasila dimasukan dalam kebijakan P4 oleh Soeharto. HTI mengatakan bahwa semua itu berasal dari hukum buatan manusia yang tidak patut untuk ditaati oleh manusia-manusia lain. Hukum dari Tuhan-lah (konteks HTI adalah Al Quran dan sunnah) yang harus di patuhi dan dijadikan sumber dari segala sumber hukum.

Jumlah negara yang terdata sampai tahun 2011 berjumlah 192 negara dan tidak ada satu pun yang menggunakan hukum yang diinginkan oleh HTI, maka apa yang HTI perjuangkan untuk membentuk pemerintahan Khilafah adalah sebuah  mencipatakan satu teritorial atau wilayah yang sesuai dengan asas dari HTI, yakni Daulah Islamiyah. Maka sama saja menciptakan sebuah negara baru, yang lepas dari negara yang ada.

Keutuhan Indonesia adalah harga mati, tidak bisa di tawar lagi dengan apa pun. Keberadaan HTI yang bergerak semaunya sendiri dengan mencaci maki sistem dan hukum di Indonesia harusnya sebuah tindakan yang tidak bisa di tolerir lagi, namun apa yang terjadi sekarang? Kita bisa melihat tindakan HTI semena-mena melecehkan Hukum Indonesia lantang sekali, upaya-upaya kongres khilafah yang dilakukan oleh HTI mengundang kemirisan di hati seorang Pluralis.
Langkah konkret yang harus dilakukan oleh pemerintah RI adalah menindaklanjuti dengan menolak HTI, melarang keberadaan organisasi tersebut seperti di Yordania. Apabila didiamkan saja, bukan tidak mungkin tindakan Makar yang berjenis Kudeta berdarah akan terjadi di Indonesia. Konsistensi HTI dengan Khilafah harus ditandingi dengan upaya meng-counter HTI, bukan hanya diam saja melihat pergerakan HTI. Bodoh, sangat bodoh pemerintah RI. Jangan-jangan HTI punya kekuatan di pemerintah, jadi pemerintah takut? Hahahaha...

Penentangan HTI terhadap sistem di Indonesia tidak bisa di tawar, mereka menolak dari akar sampai permukaan. “Rubah semua sistem dengan sistem dengan hukum Alloh, Khilafah harus tegak.” Seru aktivis HTI. Padahal indonesia sudah punya Pancasila. Berarti Indonesia ditentang keberadaannya oleh HTI, tapi aneh kok pake ‘Indonesia’ di nama organisasinya (HTI= Hizbut Tahrir ‘Indonesia’). Bisa dikatakan HTI mengakui Indonesia, dan jika mengakui berarti sama saja HTI mengikuti hukum di Indonesia. Kata Taqqiyuddin hukum di negara yang ada di dunia adalah Kufur, kok HTI mengakui?

Upaya-upaya Hizb ut Tahrir tersebut pada dasarnya merupakan bagian daripada aksi bughot (makar) yang dilarang oleh syariat Islam. Dalam kata lain, HT terus-terusan melakukan pelanggaran atas Syariat Islam.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, ada tiga kesepakatan besar para pendiri republik ini yang tak terpisahkan dan tidak bisa diganggu gugat, yakni NKRI sebagai bentuk negara, Pancasila sebagai dasar negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Dengan pandangan yang jauh ke depan, para pendiri bangsa ini dengan arif dan bijaksana menyadari akan pluralitas atau kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam agama, suku, budaya dan adat istiadat yang mereka tuangkan dalam ketiga kesepakatan bersejarah di atas. Mengubah atau berusaha mengubah salah satu saja dari ketiga kesepakatan besar para pendiri republik ini bisa dikategorikan sebagai tindakan makar. Berpijak dari sini, dengan mencermati paham yang diusungnya, HTI sebenarnya bisa dikategorikan atau mempunyai potensi besar sebagai pelaku makar. Namun untuk saat ini, dengan melihat sepak terjang yang mereka lakukan, mereka masih berada dalam tataran sebagai konseptor makar. Karena mengancam kelangsungan sebuah negara dan bangsa, upaya atau tindakan makar amatlah berbahaya dan perlu diwaspadai. Harus ada tindakan-tindakan negara yang bersifat sistematis untuk mencegah dan menanggulanginya. Karena kegagalan negara untuk mencegah atau menanggulanginya akan memberikan akibat fatal yang bisa menjatuhkan negara dan bangsa. Dari catatan sejarah, dimasa pemerintahan Presiden Soekarno, banyak terjadi upaya dan tindakan makar seperti itu, yang berkat perlindungan Tuhan Yang Maha Esa dan kesigapan rakyat dan pemerintah RI,  berhasil digagalkan. Seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/ Permesta di Sumatera Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, atau yang terbesar G30S/PKI yang berpusat di Lubang Buaya, Jakarta. Begitu pula di masa pemerintahan Presiden Soeharto, ada upaya makar yang bernuansa separatisme seperti GAM di Aceh dan OPM di Papua.

Namun yang mungkin dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa propaganda terus menerus nan berkesinambungan yang dilakukan oleh para konseptor makar ini berpotensi besar bisa mencuci otak masyarakat dan menjadikan mereka sebagai pengikutnya. Dengan semakin besarnya jumlah masyarakat yang menjadi pengikutnya, maka semakin besar pula  kekuatan para konseptor makar ini untuk mengimplementasikan konsepnya. Pada titik inilah selangkah lagi konseptor makar berubah status menjadi pelaku makar. Bahaya besar di depan mata telah mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Share: