Aku hanya ingin menulis


Aku hanya ingin menulis tanpa tau apa yang ingin aku tuliskan. Aku hanya ingin menulis tanpa tau siapa yang akan menjadi subjek dari tulisanku. Aku hanya ingin menulis untuk meluapkan perasaan yang berkecamuk di hatiku. Perasaan yag bahkan samar-samar tak dapat jelas di deskripsikan.

Aku hanya ingin menulis untuk melegakan hatiku, membiarkan tangisku mengalir tanpa tau kenapa dan untuk apa aku menangis. Aku hanya ingin menulis agar aku dapat bercerita lewat tulisan. Menceritakan hal yang aku sendiri pun tidak tau apa yang harus aku ceritakan. Aku hanya ingin menulis.

Aku hanya ingin menulis agar kelabilanku ini perlahan menjadi stabil. Aku hanya ingin menulis meski takkan ada yang membaca tulisan-tulisanku ini nantinya. Aku hanya ingin menulis untuk berbagi dalam kesunyian dan diam. Aku hanya ingin menulis untuk menjemput senyum ketika aku membaca tulisanku ini kembali nantinya.

Aku hanya ingin menulis meski tulisanku tak akan sebagus tulisan seorang Kahlil Gibran. Aku hanya ingin menulis agar dunia tau ada seorang lelaki tidak tau diri yang terus mengikuti mimpinya meski entah kapan mimpinya akan berubah bentuk menjadi sebuah reality. Aku hanya ingin menulis agar pena dan kertas putih diciptakan tak menjadi sia-sia. Aku hanya ingin menulis agar kesepuluh jemariku tak hanya berfungsi untuk hal-hal yang terlalu biasa. Aku hanya ingin menulis.

Aku hanya ingin menulis meski terkadang pikiran sedang melayang-layang jauh tak bertujuan. Aku hanya ingin menulis meski hatiku pun sedang tidak karuan. Aku hanya ingin menulis agar setiap pandangan dan pendengaranku tak hanya tersimpan menjadi sebuah kebungkaman. Aku hanya ingin menulis meski tulisanku tak selamanya hal yang disukai oleh mereka yang membacanya. Aku hanya ingin menulis agar aku di kenal oleh dunia lewat sebuah karya tak hanya sebuah nama yang akan hilang bila telah terkubur di tanah. Aku hanya ingin menulis agar aku bisa bercerita pada dunia tentang semua yang terjadi dengan cara pandangku sendiri. Aku hanya ingin menulis.

Share:

Jawaban itu Terletak pada Air Mata

Ketika Tuhan mengirimkan aku ke tempat yang tidak pernah aku sangka, tidak pernah sekalipun terpikirkan, tidak pernah direncanakan; ada jeda beberapa pekan sampai aku menemukan jawabannya:
 

Pada air mata orang tua yang memeluk anaknya, pada air mata anak yang memeluk orang tuanya, pada air mata anak-anak yang tidak bisa memeluk orang tuanya.
 

Dan pada air mataku sendiri yang tidak mengalir.
Seperti sebuah lagu: menangislah bila harus menangis karena kita semua manusia.
Share:

Andai Aku Bisa Pergi


Kadang kita kalah dengan semua keinginan, tak bisa lagi melihat dan merasa bahkan berpikir bahwa ini memang keinginan bukan nafsu. Atau hampir sama kah semua ? . Entah …

Sudah berapa kali ku bolak-balik lembaran buku yang sedang kubaca, tak ada satu kalimatpun yang dapat kumengerti, aku tahu hatiku tidak sedang disini, pikiran ku melayang sejauh pandangan. Huruf-huruf itu seperti bertebaran tanpa makna. Hanya kumpulan kalimat tanpa makna .

Aku gelisah, tapi sungguh aku tak tahu sedang dilanda apa diri ini, alunan musik dan segelas kopi tak mampu lagi menyatukan hati dan pikiranku. Terlalu tergumpal paksa, terlalu kental, terlalu tak berangan. Aku ingin bernyanyi sekaligus aku ingin menangis, benar-benar tak tahu apa yang sedang kuingini saat ini.

Rasa gelisah ini semakin menyiksa ketika hanya kulihat tembok putih itu, biasanya tembok putih itu berbicara padaku. Kadang dia memberikan warna-warna yang kusuka, kadang dia memantul-mantulkan tulisan yang ingin kubaca, kadang dia menampilkan sosok yang kurindu. Tapi kali ini dia berhianat, malam ini dia berhianat, tak satupun warna, tulisan atau sosok disana. Putih, pucat, sepi dan diam. Kemana dia pergi ?. Atau dia pun sedang gelisah seperti yang kurasakan ini.

Kusentuh kopi di cangkir, dia pun dihianati waktu, telah dingin tanpa sempat kunikmati kehangatannya. Musik itu pun telah lama berhenti berputar. Sekarang aku sendiri , bahkan hembusan nafasku dapat kudengar . Aku terdiam mencoba menahan nafasku, bertarung mencoba seberapa jauh aku bisa bertahan. Aku menutup mataku, menutup hatiku, menutup semua pintu jiwaku .

Sesak, ya sesak, jantungku berteriak meminta udara, tak kugubris, bertahan tekadku. Entah berapa lama ketika akhirnya kuhembuskan nafasku. Kubuka mataku pelan, aku menggeleng. Tak ada lagi yang kuinginkan.

Aku bangun dan berjalan menuju jendela, tak tahu aku waktu yang berputar sekarang, akan malamkah?, tengah malamkah?, aku sudah tak perduli . Kulewati jam angkuh yang terdampar didinding itu. Ia hanya pengingat. Bukan pembatas. Terus ku telusuri sampai akhirnya aku membuka pintu dan yang kulihat hanya gelap. Tapi sekilas aku melihat cahaya dilangit. Bintang itu. Indah …, kecil tapi indah …

Teringat lagu kecil yang tak pernah mungkin ku lupa. Bintang kecil di langit yang tinggi . Amat banyak menghias angkasa. Aku ingin terbang dan menari . Jauh tinggi ketempat kau berada.

Aku tersenyum, terbang dan menari, andai ku bisa , bisa! , bukankah terbang dan menari itu mudah. Apapun bisa kulakukan dengan pikiran ku. Semudah aku melupakan malam, siang, panas, hujan, kerikil dan bongkahan batu besar itu.

Kali ini aku tertancap oleh malam, sekali lagi oleh malam , hitam, tapi aku ingin bersinar seperti bintang itu. Titik kecil itu bersinar indah sehingga membuatku ingin terbang dan menari. Bawa aku kesana , terbang dan menari …

Dingin … kali ini aku dihianati oleh alam. Dingin ini menusuk tulang , aku tak bergeming, ingin lebih ku nikmati rasa ini. Biar saja sekaligus mendinginkan jantung dan hatiku. Biar saja melewati darahku , biar saja membuka semua kelopak poriku.

Aku diam, diam , diam dan diam .
Kulihat cahaya bintang itu meredum, tetapi kulihat lagi ada cahaya yang terang lebih terang dari bintang kecil tadi. Ah … selalu saja ada yang menggantikan yang hilang…

Share:

KIRI


Gue ingin ngobrol tentang kiri. Mari bicara tentang kiri yang selalu sukses memancing kalut di sebuah negeri bernama Indonesia.

Pertama-tama, kita runut dulu sejarah istilah kiri yang menyeramkan ini. Awalnya terminologi kiri dan kanan digunakan untuk menunjukkan afiliasi politik seseorang di awal era Revolusi Prancis. Asal muasalnya sangat sederhana, cuma soal tempat duduk para anggota legislatif di Prancis pada tahun 1791. Waktu itu, raja masih jadi kepala negara [dalam konteks formal], dan pendukung kerajaan yang konservatif [kaum Feuillants -- jangan suruh saya membaca nama ini!] duduk di sebelah kanan ruang sidang legislatif; sedangkan kelompok radikal (kaum Montagnards) duduk di sebelah kiri ruangan. Aslinya sih, pemisahan ini mencerminkan tingkat keberpihakan masing-masing kelompok pada rezim lama (baca: para aristocrat). Maka kala itu kaum kanan adalah kelompok pendukung para aristokrat dan keluarga kerajaan. Sedangkan kaum kiri diartikan sebagai kelompok yang menjadi oposisi. Sehingga dalam perjalanannya pertentangan-pertangan antara si “kanan” dan si “kiri” merambah pada epistemology atau falsafah hidup manusia dalam menata masa depan umat manusia Itu dulu. Namun lama kelamaan, pemisahan siapa kiri dan siapa kanan jadi jauh lebihkompleks. Misalnya nih, waktu revolusi Bolshevik, jelas Stalin dan para pendukungnya masuk di golongan kiri; dan memang, para pendukung komunisme jaman Stalin disebut (dan menyebut diri mereka) the leftists, alias kaum kiri. Tapi, siapa yang bisa disebut kelompok kiri di Rusia kala Stalin berkuasa? Mereka yang mendukung Stalin sejak Bolshevik-kah? Atau para reformis yang sudah mengadopsi beberapa pemikiran yang berasal dari mazhab kanan? Sudah mulai bingung? Semoga belum. Yang jelas, terminologi kiri dan kanan mengalami evolusi seiring perkembangan jaman.

Tokoh filusf “kiri” yang telah dibahas dalam salah satu buku Listiono Santoso, dan kawan-kawannya yang berjudul “Epistemologi Kiri” tokoh kiri itu dimulai dari Karl Marx yang melahirkan paradigma materialism dialektika dan materialisme historis, kemudian dilanjutkan oleh Freedrich Wilhelm Nietzsche yang mendokonstruksi kemapanan dan juga kehendak untuk berkuasa (the will to power) dia mengatakan bahwa manusia itu akan menjadi agung ketika memadukan secara harmonis dari tiga hal yaitu; kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan. Tikoh selanjutnya dicap sebagai “kiri” yaitu Antonio Gramsci yang hidup pada pemerintahan fasis italia Benito Mussolini sehingga gramsci pada waktu itu di dipenjarah karena mengkritisi dan merupakan penghalang jalannya pemerintahan fasis, dalammagnum opus, prison notebook, dia melancarkan kritikan dan rekonstruksi mainstreampemikiran yang tengah berkembang, sedangkan teori termasyhur yang di hasilkan dari penjara fasis adalah teori tentang “Hegemoni”. Selanjutnya ada juga tokoh islam seperti; Mohammad Arkoun yang melakukan rekonstruksi terhadap Al-Qur’an dengan nalar kritis. Arkoun mengkritik tradisi ortodoks yang didominasi oleh logosentrisme dan juga mengkritis objektivisme dan positivisme, Hassan Hanafi (penggagas Islam Kiri), dan Asghar Ali Engineer, yang menggunakan “Teologi Pembebasan”nya sebagai inti dari pemikirannya[1]. Dari beberapa tokoh diatas yang dikenal sebagai orang-orang “kiri” yang begitu getol mengkritisi kemapanan,penindasan dan penghisapan manusia dengan manusia lainnya diatas muka bumi hanya menjadi sebahagian dari jutaan kaum “kiri” yang tersebar di dunia yang sedang melawan mainstream penghambaan atas individualism. Pengertian tentang apa itu “kiri” sudah tergambar jelas, “kiri” bisa dianggap sebagai kelompok yang kritis terhadap keadaan yang melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan. Nah…! Ketika sudah ada gambaran tentang apa itu kiri dan dari mana asal muasalnya, kini kembali focus pada pembahasan  tentang apa yang akan menjadi konsekuwensi sebagai kaum “kiri” yang berbahaya itu? Mari kita lanjutkan.

Sederhananya, terminologi kiri biasa diasosiasikan dengan kelompok progresif (di Amerika Serikat, kelompok kiri kerap juga diartikan sebagai kelompok Liberal); sedangkan terminologi kanan diasosiasikan dengan kaum konservatif yang setia pada paham-paham lama.

Dalam perjuangan tentunya banyak konskwensi, dan segala bentuk atau cara mempertehankan hidup, adalah perjuangan. Saya ingin mulai dari seorang revolusioner dari argentina, Che Guevara; seorang dokter yang mungkin kita fikir bahwa menjadi seorang dokter akan lebih mudah mendapatkan uang yang banyak dengan memberikan layanan jasa terhadap orang yang menderita penyakit, kemudian kita sembuhkan lalu mendapat imbalan yang sangat besar. Tapi, kenapa Che Guevara memilih ikut berjuang bersama Fidel Castro bergerilya melawan cengkaraman kapitalisme-neoliberalisme di kuba?, Friedrich Engels seorang pengusaha sukses yang ikut memperjuangkan nasib kaum buruh merelakan bisnisnya untuk membebaskan manusia dari penindasan kapitalisme internasional bersama dengan sahabatnya Karl Marx, mengapa? Dan masih banyak tokoh “kiri” yang ada di Indonesia bisa menjadi sumber kalau pernyataan itu kurang tepat jika menganggap bahwa orang yang di cap kaum “kiri” akan jauh dari kesuksesan, malaj justru sebaliknya, kita keluar dari lingkaran itu, untuk membentuk masyarakat yang adil dan manusiawi. Jadi jangan pernah takut di cap sebagai kaum “kiri” karena itu adalah jalan yang tepat, jalan yang diridhohi seperti para nabi-nabi sebelumnya.

Di Indonesia, kiri acap kali diartikan secara sempit sebagai PKI/Komunis/Sosialis -- tanpa mengenali sejarah maupun pemaknaan kata-kata tersebut secara benar. Ya, tidak heran kalau ujungnya jadi salah kaprah tiada tara. Ada baiknya kita mencoba menggali lagi, arti dari tiap-tiap kata yang berseliweran di sekeliling kita, daripada lantas mendekam dalam kebingungan abadi gara-gara indoktrinasi rezim yang gemar berdusta.
Tapi semua kembali pada pilihan masing-masing orang: Apakah hendak menggali tiap kata dan memaknainya dengan merunut sejarah kata itu? Atau masih betah terlelap dalam dusta dan pemaknaan absurd karangan para tukang bohong? Terserah, sih. Yang penting elu menentukan pilihan itu secara sadar, dan siap dengan segala konsekuensinya.

*diolah dari berbagai sumber
Share:

Anatara Demokrasi dan Realitas Kesejahteraan


Kegagalan reformasi membawakan perubahan, terutama dalam aspek kesejahteraan dan keadilan sosial, telah memberikan sebuah pertanyaan besar soal demokrasi. Kenapa demokrasi? Karena demokrasi telah menjadi antitesa baru atas pembangunan ekonomi Orde Baru yang bersandar pada sistem politik otoritarian. 32 tahun pembangunan ekonomi ala orde baru tidak memberikan trickle down effect, malah sebaliknya, memperbesar jurang pemisah antara mayoritas rakyat dengan segelintir elit dan kaum kaya yang bertengger di Cendana. Akar persoalannya adalah minimnya partisipasi rakyat dalam pembangunan. Mansour Fakih (1999) menyatakan bahwa bentuk kediktatoran militeristik ala orde baru telah menghilangkan peranan dan partisipasi rakyat dalam pembangunan. Demokrasi dianggap telah menjadi prasyarat bagi lahirnya partisipasi rakyat dalam pembangunan.

10 tahun reformasi berjalan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan tidak kunjung datang. letak kegagalan ini kemudian dimanfaatkan kelompok status quo yang menuduh bahwa akar dari penyebab semua persoalan ini adalah ketidakadaan stabilitas politik dan ekonomi. Mereka menuduh demokrasilah yang sudah menjadi biang kerok dan de-stabilisasi politik dan ekonomi itu. Mereka juga meyakini bahwa prinsip-prinsip demokrasi –kebebasan pers, kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap HAM, sipil diatas militer, dan kebebasan berorganisasi— telah menjadi instrument yang melahirkan ketidakstabilan. Ini merupakan ancaman terhadap demokrasi.

Dua Jiwa dalam Demokrasi

Dalam waktu yang sama, demokrasi dipaksa menghadirkan dua keadaan sekaligus, yakni; kebebasan politik dalam artian persamaan dalam mengakses alat-alat politik dan keadilan ekonomi (kesejahteraan). Logikanya sederhana; demokrasi akan melahirkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan sosial, dan selanjutnya kebijakan yang dilahirkan akan berpihak kepada semuanya. Dalam bukunya, Poverty and Famines, Amartya Sen menjelaskan hubungan antara kediktatoran dan kemiskinan. Menurutnya, ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa beberapa negara yang menganut demokrasi secara bersemangat justru tidak melahirkan kesejahteraan yang merata. Di AS (rujukan demokrasi liberal), 1 orang dari 10 orang atau 36,5 juta jiwa penduduknya dinyatakan miskin (biro Sensus AS, 2007). Di Indonesia, angka kemiskinan malah menghampiri setengah dari populasi (49.5%). Bahkan Lee Kwan Yew—Mantan PM Singapura mengatakan “I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy. The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct, which are inimical to development.”

Tidak ada yang salah dengan teori Amartya Sen ataupun Lee kwan Yew. Keduanya berangkat dari dua substansi berbeda tentang pengertian dan ukuran demokrasi. Amartya berangkat dari jiwa demokrasi yang bersandarkan kebebasan sosial (egalitarian), sedangkan Lee Kwan Yew berangkat dari demokrasi yang bermazhabkan kebebasan individu atau kebebasan sipil. Inilah yang dikatakan oleh Galvano della Volpe sebagai dua jiwa dalam demokrasi. Jiwa yang pertama berhulu pada revolusi borjuis di perancis, sedangkan jiwa yang kedua disuburkan oleh kemunculan sosialisme dalam gerakan pekerja. Perkembangan modern dari dua jiwa demokrasi dimunculkan dalam pengertian antara demokrasi prosedural (demokrasi liberal) dan demokrasi substantif( demokrasi sosial).

Kegagalan Demokrasi di Indonesia

Perkembangan sistem politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh kolonialisme. Selain melakukan penjajahan fisik untuk mengeksplotasi kekayaan alam Indonesia, kolonialisme juga telah mencangkokkan sistem politik liberal. Paska kemerdekaan, sistem politik Indonesia tidak banyak berubah. Piranti-piranti dari sistem politik lama masih bertahan bersandingan dengan gejolak revolusi. Indonesia yang baru mengembangkan sistem politik demokrasi, tiba-tiba dihentikan (interupsi) oleh kelahiran rejim ordebaru yang cukup militeristik. Selama orde baru berkuasa, sistem politik dibonzai benar-benar menyingkirkan partisipasi politik rakyat. Rakyat hanya dimobilisasi pada saat pemilu dan protes sosial diharamkan.

Penjatuhan orde baru oleh gerakan mahasiswa sebenarnya mewakili tipe baru dari kelahiran demokrasi baru di Indonesia. Meskipun masih samar, akan tetapi, konsep dan gagasannya patut untuk diacungi jempol. Misalnya, munculnya kosakata-kosakata baru sebagai antitesa terhadap orba; mahakamah rakyat, komite rakyat Indonesia, Dewan Rakyat, ataupun presidium nasional. Sayang, proses kreasi demokrasi tipe baru ini dibajak oleh kelompok reformis palsu. Bagi James petras, pengamat politik Amerika latin, proses pembajakan demokrasi ini dimungkinkan karena elit lama tidak sepenuhnya hancur, tetapi sanggup bertransformasi menjadi kekuatan besar dalam kehidupan bisnis dan politik.

Demokrasi Indonesia sudah terlanjur cacat. Berbagai piranti demokrasi—kelembagaan, reformasi hukum, birokrasi, dan militer—mengalami kemandegan dan ditengah jalan diambil oleh kelompok elit tadi. Jadilah sebuah system politik oligarkhi; dimana segelintir elit mendominasi kehidupan politik dan sumber-sumber ekonomi. Oligarkhi politik cenderung sanggup memapankan diri, karena cara-pandang aktivis gerakan dan kaum demokrat yang mengharamkan memanfaatkan institusi demokrasi liberal, semacam pemilu. Dalam perkembangan kontemporer, dikenal istilah “radikalisasi demokrasi.” Istilah ini merujuk pada tindakan beberapa kelompok kiri di Amerika Latin yang memanfaatkan momentum elektoral untuk memperluas dan mendorongnya semakin menampung partisipasi massa. Wacana ini patut untuk diujikan di Indonesia.
Share:

Komersialisasi Kampus

Namanya Amir, mahasiswa angkatan 2015, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, disalah satu Universitas terkemuka. Amir dan puluhan kawannya yang lain harus menerima kenyataan pahit tak lagi mampu kuliah karena di droped out (DO). Penyebabnya bukan karena mereka pengguna narkoba atau melakukan tindakan indisipliner, tapi karena masalah klasik : BIAYA!. Amir telat membayar uang kuliah.
 

Kebijakan rektorat memang mengharuskan barang siapa yang telat membayar SPP dengan alasan apapun tanpa pengecualian (termasuk sakit dan belum punya uang) harus siap menerima sanksi tidak dapat mengikuti semester berikutnya. Jika mahasiswa diatas semester dua agar tidak dianggap mengundurkan diri maka terpaksa mengambil cuti kuliah. Sedangkan bagi yang semester satu (mahasiswa baru) maka statusnya secara otomatis gugur studi alias droped out.

Bisa dipastikan, Amir dan puluhan kawannya yang lain terpaksa angkat kaki dari kampus akibat kebijakan kampusnya yang tidak manusiawi itu. Lihat bagaimana hukuman bagi mahasiswa tak mampu lebih berat atau setara dengan mahasiswa pengguna narkoba, tawuran atau berbuat tindak kriminal. Kampus menjadi hampir sama dengan “rumah bordil”, yang bisa masuk dan menikmati isi di dalamnya hanya yang memiliki uang. Karena sama dengan rumah bordil, kampus pun penuh sesak dengan orang-orang yang siap memperbudak dirinya demi uang.


Amir pastinya tak sendirian, selain Amir masih banyak jutaan orang yang tak mampu meneruskan kuliahnya atau tak mampu mengenyam bangku perguruan tinggi. Kampus Amir pun tak sendirian. Hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia mematok tarif selangit bagi mahasiswa nya atau kampus yang menerapkan kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan tidak berpihak kepada orang miskin. Dunia pendidikan memang hakim yang paling kejam dan tak adil bagi status sosial seseorang.


Badai neo-liberalisme yang menghantam dunia pendidikan ikut menjauhkan orang miskin mendapatkan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Privatisasi yang menjadi salah satu program kebijakan neo-liberalisme menjelma menjadi kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan penjualan berbagai asset pemerintah, termasuk perguruan tinggi. Privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga layak dilepas pemerintah. Otonomi kampus inilah yang menjadi landasan kampus memungut biaya semaunya. Belum lagi menerapkan kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya yang otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.


Maka tak heran jika perguruan tinggi berlomba-lomba menetapkan harga tinggi dengan dalih untuk peningkatan mutu dan kualitas. Padahal tidak selamanya peningkatan mutu dan kualitas diikuti harga yang mahal.


Lalu bagaimana nasib rakyat miskin ditangan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Nampaknya nasib rakyat miskin untuk mendapatkan pendidikan tak akan berubah. Karena isi RUU BHP adalah melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dan tentunya komersialisasi yang hebat. Lembaga pendidikan yang sebelumnya tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis, sebagai BHP diperbolehkan melakukan kegiatan yang mendatangkan keuntungan, sepanjang laba yang diperoleh diinvestasikan untuk peningkatan mutu pelayanan yang diberikan.


Dalam pasal 7 RUU BHP soal Pendanaan dan Kekayaan secara terang dipaparkan bahwa pendanaan awal Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT) murni berasal dari masyarakat dan Badan Hukum Perguruan Tinggi. Dijelaskan juga pada ayat 1, dana untuk investasi awal, pengembangan, dan operasi Perguruan tinggi didapat dari masyarakat lewat dana hibah dari dalam dan luar negeri. Di samping itu, Badan Hukum Perguruan Tinggi juga diberi beban untuk menggalang dana lewat aneka usaha.


Pasal 7 ayat 5 menerangkan juga bahwa tugas pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk hibah. Bantuan ini disebut sebagai dana kompetisi, bukan dana rutin, dan bersifat TIDAK WAJIB. Artinya sudah cukup jelas RUU BHP menguatkan lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikannya. Lantaran sudah otonom, lembaga pendidikan berstatus BHPT dipastikan bakal menjadikan siswa didik sebagai ladang mengeruk dana. Perguruan tinggi di luar negeri juga berstatus otonom. Namun, berbeda dengan Indonesia, di luar negeri pemerintah tidak mencoba lepas tangan. Malaysia misalnya, pemerintah Malaysia tetap membiayai 90 persen biaya pendidikan kendati perguruan tinggi di Malaysia berstatus otonom.


Van Hoof & Van Wieringen dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa mengatakan, jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat.

Dampak buruk dari privatisasi dan komersialisasi kampus juga hilangnya solidaritas sosial. Misalnya, jika seseorang kuliah di fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta-1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka saat kuliah kembali. Itu sebabnya sangat sulit mencari dokter yang peduli dengan orang miskin.

Kita harus belajar dari Negara yang sangat peduli dengan dunia pendidikan seperti di Kuba atau Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez pernah mengatakan, “Jika kita (pemerintah) ingin menyejahterakan rakyat miskin maka berilah rakyat miskin kekuatan. Dan kekuatan itu bernama pendidikan. Maka berilah rakyat miskin pendidikan” ***

Share: