Manifesto Sang Revolusioner (Straktat Filsafat dari Cililitan)

Cerita Sampul (Madilog)
Bagaimana Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika lahir, satu-satunya sumber tertulis tampaknya cuma apa yang dicatat sendiri oleh pengarangnya.
"Ditulis di Rawajati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Di sini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog ialah lebih kurang 8 bulan, dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari," tulis Tan Malaka.
Berarti Tan Malaka menulis naskah itu di tengah-tengah masa pendudukan represif Jepang. Dia mengenang bagaimana dia menulis "di bawah pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya" dan membawa naskah Madilog bersembunyi ke Bayah Banten dan ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa Tengah.
Bahkan, menurut Tan Malaka, naskah itu turut bersamanya ketika dia ditangkap di Surabaya gara-gara masalah Tan Malaka palsu. "Bahkan hampir saja Madilog hilang," katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut duduk perkaranya.
Tapi, dapatlah disimpulkan bahwa penulisan Madilog di bawah keadaan darurat, bahkan semua referensinya hanya mengandalkan ingatan, yang tampaknya juga memanfaatkan teknik "jembatan keledai". Hal ini tentu jauh dari umumnya kemewahan para ilmuwan yang menulis di perpustakaan kampus yang sangat lengkap.
Meski demikian, bukan berarti traktat filsafat ini bisa dianggap sepele. Dua ahli filsafat Indonesia, Frans Magnis-Suseno dan Ignas Kleden, menilai karya Tan Malaka ini sebagai sebuah pemikiran yang patut dipuji.
Ignas Kleden menilai Madilog sebagai traktat yang menguji paham materialisme, dialektika, dan logika dengan "cara yang sama luas dan sama ketatnya" dengan The Open Society and Its Enemies karya Karl Popper dan Die Materialistische Geschichtsauffassung karya Karl Kautsky.
Madilog adalah sebuah metode berpikir, sebuah epistemologi yang menjadi landasan yang, menurut Tan Malaka, diperlukan bagi kaum proletar Indonesia untuk mencapai pencerahan dan "merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda" alias Indonesia merdeka.
Traktat ini memang berangkat dari keprihatinan Tan Malaka terhadap para proletar yang belum menyadari kekuatan tersembunyi kelasnya. Ini semua terjadi karena "Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahayul campur aduk," katanya.
Maka, traktat ini dimulai dengan paparan tentang "logika mistika" atau logika yang berdasarkan rohani, yakni kepercayaan kepada segala hal yang gaib, bahwa kekuasaan terletak pada para dewa. Cara berpikir yang berdasarkan logika ini akan membuat manusia hanya bergantung pada yang mistik, enggan berubah. Dengan cara seperti ini mustahil revolusi terjadi atau perubahan diwujudkan.
Untuk mengatasi kebuntuan logika mistika ini, Tan Malaka mengajukan tiga senjata: materialisme, dialektika dan logika.
Namun, seperti dicatat Frans Magnis-Suseno, materialisme Tan Malaka bukanlah pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu materi atau berasal dari materi, melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan. Maka, "Materialisme berarti: mempelajari realitas bendawi dengan mempergunakan pendekatan ilmiah," kata Magnis.
Dari tujuh bab dari Madilog, dua bab khusus membahas masalah ilmu pengetahuan. Di sini Tan Malaka mengurai bagaimana ilmu pengetahuan bekerja, apa itu bukti, apa hukum alam itu, dan macam apa ilmu pengetahuan menarik kesimpulan dengan induksi, deduksi, dan verifikasi.
Seluruh paparan itu dilengkapinya dengan seabrek contoh dari khazanah berbagai ilmu, seperti fisika, matematika, biologi, dan astronomi. Hal terpenting dari semua uraian ini adalah bahwa materialisme atau ilmu pengetahuan akan membuka pikiran manusia untuk melangkah lebih maju, menciptakan alat dan mesin, dan memahami kodrat alam yang berguna bagi kehidupan.
Tahap selanjutnya Tan Malaka membawa pembaca menerobos lebih dalam lagi dalam memahami dunia. Kali ini ilmu pengetahuan dan logika yang dipakainya tak memadai lagi dan orang butuh dialektika.
Dalam paparannya tentang dialektika, Tan Malaka masuk pada uraian Karl Marx dalam membahas tesis-tesis Feuerbach. Kita tahu, di sinilah Marx menyatakan seruannya yang terkenal, bahwa para ahli filsafat sudah memahami dunia, tapi yang terpenting adalah mengubahnya.
Boleh jadi traktat filsafat Madilog Tan Malaka ini sangat gemilang pada masanya, tapi kehadirannya kini dengan diterbitkan, misalnya, oleh Pusat Data Indikator pada 1999, tentulah menjadi kuno, meskipun perlu sebagai sebuah dokumen.
Sebagai sebuah kitab filsafat, dia sama nasibnya dengan buku-buku Karl Marx dan para muridnya. Sebagai sebuah gagasan, dia sama tertinggalnya dengan gagasan yang diusung para tokoh itu. Dan, nasib Madilog jadi lebih buruk karena dia tak sempat tumbuh wajar dan berbaur dengan wacana intelektual lain di masa Indonesia modern, sehingga peluangnya untuk hidup kembali dan mungkin berkembang lebih jauh seakan bertemu tembok dingin Orde baru.
Namun, sumbangan terpenting dari buku ini adalah ajakan Tan Malaka untuk berpikir rasional, ilmiah, dan meninggalkan kepercayaan atas takhayul yang mengukung--yang nyatanya masih hidup di sebagian masyarakat di Nusantara. Yang patut dicatat pula adalah gairah Tan Mala yang meluap-luap untuk mendorong rasionalitas itu menuju satu titik: kemerdekaan.


Share:

Apa Kabar? Idealisme.


Idealisme = Kacang Goereng

Idealisme menjadi semacam ikon yang ramai saat ini. Idealisme telah menjadi tataran ideal bagi budaya populer yang jauh dari arti idealisme itu sendiri. Setiap orang akan memiliki tataran ideal masing-masing mengenai sesuatu hal. Tetapi tak terbayangkan lagi bagaimana nantinya, jika idealisme hanya dijadikan ikon budaya populer bagi sekelompok orang yang lebih mengedepankan teriakan idealisme perut dan satu jengkal di bawah perut.


Idealisme Jenis Apa?

Waktu itu, hampir sepertiga malam terakhir ketika saya dan teman-teman berkumpul membahas masalah keorganisasian kami. Disela-sela keseriusan kami, terlontar kalimat yang menggelitik dan cukup lucu ditelinga saya. “Idealisme”, begitu sempat terlontar. Kontan saja saya menanggapi dengan tak serius juga, “Idealisme itu satu jengkal di bawah perut,” seru saya. Teman saya tanpa disangka mengamini kata-kata itu.

Beranjak dari obrolan ringan itu,saya sempat memikirkan hal itu lebih lama. Benarkah teman saya itu serius mengamini kata-kata saya atau dia hanya ingin menyenangkan hati saya saja untuk membuat suasana lebih cair.


Berbicara idealisme, teman saya juga pernah mengatakan bahwa, idealisme itu hanya ada ketika orang itu menjadi mahasiswa saja. Selanjutnya ketika mereka telah meninggalkan almamater, idealisme mereka pun akan pergi seperti itu. Setelah dipikir ulang, ternyata ada benarnya juga teman saya itu, baik teman saya yang mengamini idealisme itu hanya satu jengkal di bawah perut dan teman saya yang terakhir tadi.


Idealisme saat ini bisa jadi telah dimaknai sesempit tempatnya tadi. Benar saja kata teman saya, hanya ketika jadi mahasiswa, idealisme itu ada. Setelah itu, kemana perginya idealisme itu. Jawabnya mudah, lihat saja sekarang, mahasiswa itu sekarang menjadi apa? PNS kah? Pejabat kah? Menteri kah? Atau bahkan mungkin seorang presiden?.


Dengan melihat sejauh mana sekarang mereka berperan itulah yang menjadi jawaban tersendiri ketika mempertanyakan keberadaan idealisme mereka, yang mungkin saja sekarang menjadi ‘orang penting’ di negeri ini. Banyak idealisme mereka tergadaikan dengan ‘kesibukan’ mereka saat ini. Kepentingan mana yang mereka dahulukan? Kebijakan macam apa yang mereka keluarkan? Atau keberpihakan mana yang mereka kedepankan?


Beberapa macam pertanyaan itu yang menjadi titik tekan gurauan saya kepada teman ketika itu. Idealisme itu memang tak akan jauh dengan kepentingan perut dan juga satu jengkal di bawahnya.


Ketika menjadi mahasiswa mungkin saja idealisme mereka tinggi, bahkan mereka yang mengaku sebagai pejuang HAM dan pemerhati sosial lainnya dan bergabung dalam satu wadah organisasi tertentu. Ketika menjadi mahasiswa, idealisme mungkin memang lumrah untuk dimiliki oleh setiap mereka. Namun setelah status sebagai mahasiswa mereka lepas, maka idealisme adalah sebuah keniscayaan tersendiri.


Mengutip Walter Lipman, salah satu tokoh besar yang merumuskan opini publik (1992), ia menyebutkan faktor tentang individu dan lingkungan bayangan (pseudo-environment) yang melingkupinya, pada akhirnya membentuk dunia seperti yang ia bayangkan (the world outside and picture in our head). Individu kemudian bersikap, beremosi, bertindak sesuai dengan lingkungan bayangan yang berupa gambaran dalam kepalanya.


Begitupun dengan idealisme. Sebuah idealisme seorang mahasiswa yang berhubungan dengan lingkungan yang beriklim akademik akan membuat mereka bertindak, berprilaku, dan beremosi sesuai dengan iklim akademik yang mengajarkan ke”idealan” yang akhirnya membentuk sikap ke”idealisme-an”. Dan tentunya hal ini berbeda dengan mereka yang tidak lagi bercumbu dengan lingkungan yang beriklim akademis.


Sikap mereka akan cenderung lebih memikirkan perut dan satu jengkal di bawah perut. Sekalipun ia adalah seorang dosen yang jelas-jelas berada dalam lingkungan beriklim akademis tadi. Sampai-sampai tak jarang beberapa dari mereka menghalalkan berbagai macam cara dengan memanfaatkan “keluguan” mahasiswanya untuk menukar nilai dengan sesuatu. Meskipun tak bisa dibantah semua itu adalah bentuk lain dari simbiosis mutualisme antara dosen dan mahasiswa.


Lalu siapakah yang sebenarnya tidak memiliki idealisme? Dosen kah? Atau mahasiswa yang turut dalam simbiosis itu?. Jawabnya sederhana, tentunya adalah dosen itu. Sebab mahasiswa hanya telah dimanfaatkan “keluguannya” oleh dosen itu. Sedangkan dosen itu tidak lagi memikirkan idealisme yang sesungguhnya, tetapi hanya idealisme perut dan barangkali lebih parahnya idealisme satu jengkal di bawah perut.


Idealisme sebagai Budaya Populer

Tidak banyak yang menyadari, idealisme hanya menjadi budaya populer. Kepopuleran idealisme sendiri menjadi ajang pemikat yang kuat di masyarakat umum. Simbol idealisme adalah selalu berada dalam tataran ideal sesuatu. Jika berada jauh dari tataran itu maka sudah pasti tidak punya idealisme.

Sebagai budaya populer, idealisme itu hanya menjadi indah dalam pandangan mata biasa. Tetapi lebih jauh dipandang akan tidak beda dengan individualisme ego. Karena hanya mereka sendiri yang dapat merasakan ke”idealan” itu dalam tataran ideal yang mereka ukur sendiri-sendiri. Sedangkan orang lain hanya bisa terkagum-kagum kepadanya.


Budaya populer sempat didefinisikan oleh Raymond Williams menjadi empat pengertian: Pertama, budaya populer itu kebudayaan yang disukai oleh banyak orang. Kedua, kerja kebudayaan yang inferior. Ketiga, kerja kebudayaan yang dimaksud untuk meraih simpati banyak orang. Keempat, kebudayaan yang dibuat sekelompok orang untuk diri mereka sendiri.


Inilah yang menjadi renungan saya belakangan ini mengenai idealisme. Berpijak pada pendapat Raymond tadi, saya menjadi lebih khawatir lagi tentang keadaan idealisme yang semakin kritis saat ini, karena hanya menjadi budaya yang populis. Dengan cara mengomodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi ikon-ikon budaya populer yang sering kali jauh dari tataran ideal yang sesungguhnya.


Kuatnya idealisme seorang mahasiswa bisa jadi hanya ikon yang telah dimodifikasi sehingga hanya dilakukan untuk membuat orang lain simpati kepadanya. Atau memang menjadi sebuah kelaziman yang nantinya berpihak pada kepopulisan yang disukai banyak orang. Karena bisa jadi setiap orang pasti memiliki keinginan untuk ideal dan karenanya idealisme menjadi ikon ke”idealan” itu. Atau jangan-jangan idealisme hanya dimiliki oleh sekelompok orang untuk kepentingan mereka sendiri.


Kekhawatiran terakhir ini yang sangat riskan dan memerlukan penyelesaian lebih jauh. Bisa saja setiap kelompok menamai idealisme mereka dengan A, B, atau C sekalipun. Tetapi semua nama itu tak mengartikan apapun, kecuali hanya menjadi ikon budaya populer itu sendiri.


Idealisme Perut dan Satu Jengkal di bawah Perut

Idealisme yang telah dijadikan budaya populis dan hanya merupakan idealisme kebudayaan yang dibuat oleh sekelompok orang untuk mereka sendiri akan tidak jauh-jauh dengan Idealisme Perut dan Satu Jengkal di bawah Perut. Kenapa demikian? Kepentingan adalah jawabnya. Karena bisa saja idealisme itu bukan lagi ideal yang sesungguhnya, tetapi hanya menjadi “Idealisme Kepentingan” – untuk perut dan satu jengkal di bawah perut.

Banyak orang terjebak dengan idealisme populer yang akhirnya menggiring mereka untuk berteriak tidak lebih hanya sebatas tataran urusan perut dan satu jengkal di bawah perut. Idealisme akan menjadi kuat ketika perut telah terisi dengan penuh, tetapi kembali mengendur ketika perut berteriak. Bahkan teriakan perut bisa lebih kencang daripada teriakan idealisme yang sebelumnya sempat diteriakan mulut.


Korelasi ini sangat terlihat ketika dulunya seorang mahasiswa meneriakkan idealisme dengan mulut, ternyata setelah dia memiliki jabatan tertentu, perutnya yang bergantian meneriakkan idealisme. Memang tidak semua pejabat seperti itu yang jelas dulunya adalah mahasiswa yang idealis. Tetapi setidaknya realita negeri ini juga yang memberikan gambaran betapa buruknya idealisme pejabat-pejabat kita. Sudah tentunya mereka bukan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.


Pejabat kita adalah orang-orang hebat, orang-orang yang telah puas dengan lingkungan akademis, dan tentunya mereka pernah memiliki idealisme yang sesungguhnya, layaknya seorang mahasiswa yang idealis. Tetapi belakangan setelah mereka (mungkin) lelah meneriakan idealisme, maka berganti tuntutan perut dan satu jengkal di bawah perut yang berteriak. Maka jadilah pejabat kita yang ber”idealisme perut dan satu jengkal di bawah perut. ”

Hal ini bisa saja dibantah kalau saja kepentingan perut dan satu jengkal di bawah perut tidak pernah menjadi prioritas utama. Tetapi mana ada yang demikian. Buktinya, hampir semua sistem pembangunan di negeri ini tidak bisa dipisahkan dari urusan perut dan satu jengkal di bawah perut. Makanya, beberapa proyek pembangunan tidak berjalan maksimal karena sekian persen anggarannya diperuntukkan bagi perut. Belum lagi urusan yang lain.

Share:

I am Moslem but not a Terrorist



Kita mulai bahas Islam, terorisme dan Indonesia. Kita mulai sekilas dari akar masalah dan sejarah terorisme Islam dan negara atau agama vs negara pertama sekali muncul di Indonesia saat perdebatan 7 kata dalam Piagam Jakarta.
Penolakan kelompok kristen, nasionalis & sebagian rakyat Indonesia timur terhadap kalimat: Dan Kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya.
Kalimat tersebut awalnya tercantum dalam Pancasila yang hendak disahkan sebagai falsafah dan idelogi Indonesia sebagai negara yang baru lahir.
Perdebatan tersebut berakhir ketika Hatta CS sebagai tokoh islam utama bersedia mengalah hapuskan kalimat tersebut demi keutuhan negara Indonesia.

Fase berikutnya  adalah saat penyusunan konstitusi oleh Dewan Konstituante. Perdebatan yg panjang salama 10 tahun tidak mampu akomodir para pihak.
Kebuntuan tersabut berakhir ketika Soekarno mengelurkan dekrit presiden 5 juli 1955. Kembali ke UUD 45 sebagai konstitusi negara.
Fase awal kemerdekaan sampai Orde Lama berakhir, tidak ada stigma "teroris" yang ditujukan kepada umat atau kelompok islam di Indonesia.
Ketidakpuasan kelompok-kelompok islam tertentu yg kemudian melahirkan pemberontakan-pemberontakan seperti DII atau TII hanya dianggap sebagai gerakan separatisme.
Perlakuan negara atau pemerintah yang represif terhadap umat islam, baru dimulai sejak masa Orde Baru oleh regim Suharto.
Suharto dan regim orbanya ingin memisahkan kehidupan beragama dan bernegara melalui manajemen konflik yang dijalankannya.
Suharto ingin mengamankan kekuasaannya dan menghilangkan semua ancaman terhadap kekuasaanya. Musuh  utama suharto : Islam dan Komunis.
Komunis dapat dibasmi secara tuntas oleh Suharto karena adanya tuduhan pengkhianatan PKI yang kontroversial hingga saat ini.
Islam tidak bisa "dibasmi" suharto karena merupakan indentitas agama (bukan ideologi) yang melekat pada sebagian besar rakyat RI.

Suharto sendiri pada awalnya bukanlah pemeluk islam. Dia kejawen dan istrinya Tien Suharto beragama katolik.
Suharto dan keluarganya kemudian mengadaptasi strategi raja-raja mataram yang "masuk islam" untuk ikuti agama mayoritas rakyatnya.
Proses mualafnya ibu Tien kemudian disusul oleh suharto adalah jasa besar Prabowo Subianto, sang menantu yang duluan masuk Islam.
Sebelum beralih ke Islam, Suharto sangat represif terhadap kelompok Islam fundamental, kritis dan garis keras. Semua dia lindas habis.
Berbagai peristiwa konflik Islam vs Negara diselesaikan secara militer dan represif. Terutama sejak diterapkannya azas tunggal.
Militer, intel laksus, kopkamtib, bakortanas dan sebagainya ada dimana-mana, awasi umat Islam kritis sampai ke mesjid-masjid dan menyusup ke ormas-ormas Islam.
Namun, semua operasi penumpasan Islam garis keras itu tetap tidak menggunakan label "teroris atau terorisme".

Setelah suharto dan keluarga masuk Islam, dimulailah era bulan madu islam dan negara. ICMI lahir. Umat Islam yang awalnya paria naik kelas.
Bulan madu Islam & Negara berakhir ketika reformasi tiba. Kejatuhan suharto, salah satu faktor utamanya, adalah kemesraannya dengan Islam.
Banyak teori yg melatarbelakangi perisiwa reformasi itu. Faktor krismon 97-98 hanyalah trigger bagi Barat untuk jatuhkan Suharto.
Kekhawatiran barat terhadap hubungan mesra Suharto & Islam merupakan wujud dari pergeseran indentitas musuh utama Barat setelah komunis jatuh.
Banyak pengamat politik dunia yang sudah prediksi bahwa setelah komunis soviet jatuh, maka perang negara-negara barat akan bergeser ke Islam.
RI adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Penguatan nilai-nilai Islam apalagi sampai ke arah ekstrim akan jadi 'ancaman' dunia.
Bukan hanya Barat yang khawatir dengan penguatan Islam di RI, tetapi juga Asean & Australia.
Kekhawatiran Barat & Asean ini semakin memuncak ketika terjadi peristiwa TWC & Bom Bali. Dimulailah labeling  "Terorisme Islam".

Perjuangan masyarakat Islam dunia untuk bebaskan zionisme Israel yang kemudian berpuncak pada "terorisme" Al Qaedah-nya  Osama dan aksi-aksi pemboman di berbgai tempat di Indonesia utamanya Bali, melegitimasi labeling teroris pada sebagian kelompok islam.
Sebelum periode tersebut terdapat juga "pemboman" yang dilakukan oleh sayap GAM (gerakan aceh merdeka) di Jakarta, Medan atau Bandung tapi, peristiwa-peristiwa kekerasan itu belum diberikan stigma "terorisme". Bom Bali adalah pemicunya. Meski sebenarnya banyak "gugatan" atas latar belakang, mastermind, pelaku dan tujuan yang sesungguhnya dari aksi bom bali tersebut. Komunitas intelejen pnya banyak teori tentang ini.

Ada teori bahwa pelaku-pelakau teror dan pemboman di berbagai tempat di RI itu adalah pihak asing, utamanya intelejen spore & israel.
Ada juga teori bahwa pelaku & mastermindnya adalah sempalan2 TNI yang tidak rela & ikhlas karena kewenangannya dipangkas habis pada era reformasi.
Juga ada dugaan bahwa kelompok-kelompok tertentu ORBA yagn lakukan ini untuk kacaukan keamanan & stabilias negara demi raih kembali kekuasaanya.
Ketiga teori besar tersbut punya bukti-bukti pendukung yang kuat unttk buktikan tuduhannya. Namun, semuanya pnya tujuan yg sama : menyudutkan Islam.
Maka dimulailah Era Perang Terhadap Terorisme (Islam) di Indonesia. RI jadi salah satu medan perang terorisme Global.
Negara Barat dan USA termasuk australia yang menjadi 'korban terorisme (islam)' sepakat dalam hal sikap & strategi dalam perangi terorisme.
Salah satu kesepakatan utama negara2 tersebut adalah "memindahkan medan perang terhadap teroris ke negara-negara asal teroris itu sendiri."
Negara-negara "islam" dibantu uang, teknologi, informasi intelejen, persenjtaan, pelatihan dan sebagainya, agar mau bersedia menumpas teroris di negaranya masing-masing. Negara-negara "Islam" tersebut dibujuk, didorong, ditekan, dipaksa untuk basmi 'teroris' dan cikal bakal 'teroris'.
Penerapan strategi Barat tersebut efektif. Gayung juga bersambut. Sebagian negara-negara 'islam' tersebut termasuk RI butuh bantuan Barat tadi.
Disamping uang, info intelejn, persenjatan, hibah & pinajaman dalam berbagai bentuk dan sebagainya, negara-negara barat juga bantu pembentukan opini.
Kesatuan sikap Barat terhadap musuh utama dunia yaitu terorisme (Islam) ini juga tidak lepas dari lobi Israel terhadap politisi AS.
Lobi Israel (yahudi) adalah infrastruktur politik terkuat dan terbesar di AS. Sangat berpengaruh di Kongres, Senat, DPR, & pemerintahan.
Di Gedung Putih, Kongres, senat dan DPR USA terdapat sedikitnya 7000 pelobi (lobbyist) Yahudi. Siapa pun presiden AS tergantung pada mereka.
Setiap presiden AS pasti membutuhkan lobbyist yahudi ini. Mereka disokong dana kampanye oleh ribuan industrialis / konglo Yahudi dunia.
Tujuan komunitas global yahudi ini yg utama adalah : menjamin eksistensi negara Israel & menjamin keselamatan jiwa & bisnis yahudi.

Kembali ke 'terorisme islam' di Indonesia. Bantuan pembentukan opini oleh Barat & KG Yahudi ini dilakukan melalui antek-anteknya di RI.
Milenium ketiga, abad 21 ini adalah era informasi. Siapa yang kuasai informasi dialah yg memegang kekuasaan. Opini adalah senjata ampuh.
Maka dimulailah serbuan informasi global melalui kaki tangan KG di di indonesia dalam rangka membentuk opini yang diinginkan.
Tanpa disadari mayoritas media massa, LSM, aktivis-aktivis, tokoh-tokoh dan sebagainya menjadi corong KG dalam membentuk opini ini. Islam pun makin tersudutkan.
Jargon-jargon anti SARA, HAM, pembauran, antiterorisme, antifundamental, islam garis keras, kelompok militan dan sebagainya semakin populer.
Kelompok mayoritas islam dan bangsa Indonesia makin dikendalikan oleh opini-opini yang dibangun oleh Barat ini. Contoh nyata?

Perhatikan pers, tokoh-tokoh, LSM, aktivis-aktivis HAM dst, TIDAK ADA SATU PUN yang berteriak dan pertanyakan jika ada terduga teroris ditembak mati !
Tidak ada SATU PUN kelompok baik supra ataupun infrastruktur politik di RI yg pernah mau skeptis terhadap pembunuhan pada 'terduga teroris' !
Bagaimana sikap pemerintah?  Isu terorisme & pemberantasan 'teroris' menjadi lahan pencitraan ke dunia internasional & sumber uang besar !
Opini yang sudah terbentuk, tertanam & mulai mengakar dalam benak rakyat RI tentang 'terorisme', mempermudah semua aksi-aksi yang belum tentu benar itu.
Opini yangg dibentuk ini semuanya ditujukan untuk legitimasi stigma gerakan sekolompok umat islam itu sebagai gerakan terorisme.
Opini yang dibentuk dan ditanamkan ini ditujukan untuk "menggeser" indentitas islam RI menjadi Islam moderat, pragmatis dan sekuler.
Maka terjadilah tirani opini pada mayoritas umat islam di RI. Terjadilah pembiaran-pembiaran terhadap aksi-aksi penzaliman terhadap islam dengan labeling teroris.
Sebagian besar para pelaku teroris itu tidak pernah diadili. Ditembak mati ditempat. Sebagian yang ditangkap lalu muncul di media-media dalam konpres-konpres .
Pelaku-pelaku yang ditangkap ini yang sebagian diduga aktor yang ditanam dalam kelompok-kelompok tertentu berpidato. Mengaku : I am moslem and a terrorist !
Pengakuan itulah yang lalu kita amini & percayai begitu saja tanpa setitik skeptisme & kritisme. Kita tonton, kita percaya, kita lupakan...
Share:

Sikap Posesif dan Egoisme Orang Tua


Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut. Namun, tidak sedikit orang tua menggunakan alasan tersebut untuk bersikap posesif dan egois terhadap anak. Bukan kebaikan yang didapatkan tapi dengan kedu asikap itu anak dapat hancur. Tidak selalu yang terbaik menurut orang tua baik pulauntuk anak.
Dengan melahirkan ataupun memberi nafkah pada anak bukan berarti anak adalah hak milik orang tua. Namun, hal tersebutlah yang sering kali dirasakan kebanyakan orang tua. Mereka beranggapan bahwa anak adalah milik mereka yang bisa diperlakukan sesuai dengan keinginannya. Bukankah hal tersebut menunjukan sifat posesif ?. Seorang anak memang terlahir di dunia melalui mereka tapi jangan lupa bahwa seorang anak adalah titipan sekaligus cobaan dari Allah SWT yang harus dijaga, dibina dan dibimbing dengan penuh rasa cinta dan tanggung  jawab.

“Dan ketahuilah bahwa hartamu dananak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lahpahala yang besar.”
(Q.S. Al Anfaal 8:28)

Yang terbaik bagi anak sering diartikan bahwa anak harus menjadi yang terbaik. Adakalanya, untukmenjadi yang terbaik, orang tua selalu memaksakan kehendaknya pada anak. Semua perilaku dan sifat anak haruslah sesuai dengan keinginan orang tua.  Kesempurnaanlah yang orang tua inginkan. Nilai 90 sampai 100 itulah yang terbaik. Menjadi seorang Ulama besar, Kyai, atau tokoh Agama barulah dikatakan hebat. Semua obsesi orang tua dilimpahkan kepada anak. Jika sudah demikian, masihkah pantas orang tua menyebutkan bahwa mereka ingin yang terbaik untuk anaknya ?
Terlalu egois jika orangtua bertindak seenak hati seperti itu. Bukankah anak juga adalah seorang manusia yang memiliki perasaan dan keinginan sendiri. Meskipun seorang anak belum mengerti apa pun tentang dunia tapi anak memiliki minat dan bakat alaminya sendiri. Bukankah akan lebih bijak jika orang tua mengarahkan dan membinaanaknya sesuai minat dan bakatnya. Namun, bukan berarti mengabaikan aspek lain di luar minat dan bakat anak. Jadikanlah kesukaannya sebagai sarana belajar  yang menyenangkan untuk mengembangkan aspek yang kurang pada diri anak. Misalnya saja, jika ada seorang anak yang suka dan berbakat ilmu teknologi dan informasi, kita dapat menjadikan kesukaannya tersebut untuk mengembangkan keterampilan,
Tidak punya pilihan, impian dan kebebasan. Itu buah dari hasil sikap posesif dan egois orang tua. Jangan biarkan mereka hancur! Hanya sikap bijaksana yang dapat menyelamatkan mereka. 

Anak mubukanlah anakmu.
Mereka putra – putri kehidupan
yang rindu akan diri mereka sendiri.
Mereka datang melalui engkau,
tapi bukan dari engkau.
Dan walau mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan kepunyaanmu.
Kau dapat memberi mereka cinta kasihmu, tapi tidak pikiranmu.
Sebab mereka memiliki pikirannya sendiri.
Kau bisa merumahkan tubuhnya,
tapi tidak jiwanya.
Sebab jiwa mereka bermukim di rumah masa depan,
yang tiada dapat engkau sambangi,
bahkan tidak dalam impian-impianmu.
Kau boleh berusaha
menjadi seumpama mereka,
Tapi jangan berusaha
Menjadi seumpama mereka,
Tapi jangan berusaha
membuat mereka seperti dirimu.
Sebab kehidupan tiada surut ke belakang,
Pun tiada tinggal bersama bari kemarin.
Engkaulah busur,
dan anak-anakmulah
anak panah yang meluncur.
Share:

Merayakan Toleransi

Terlalu banyak identitas yang gampang dilekatkan pada seseorang ataupun kelompok. Dari label agama, etnis, hingga hal-hal yang sifatnya remeh temeh. Semuanya adalah kesamaan pada komunitas atau kelompok tertentu. Anak yang menyukai musik metal akan bisa diklaim sebagai “anak metal”. Penggemar ziarah kubur, meminta doa, dan cincin dapat diidentikkan sebagai penganut mahzab Syiah, bahkan seorang dubsmasher juga terkadang diidentikkan sebagai anak alay.

Penciptaan label itu buat komunitas menjadi terkotak. Tercipta identitas yang membedakan seseorang atau komunitas dengan lainnya. Sebenarnya enak juga ada varian-varian, namun yang paling mengerikan jika terjadi pergesekan ataupun pertarungan yang berniat membumi-hanguskan antar-identitas.

Pergesekan terbesar  dan paling berbahaya yang terjadi pada masa sekarang adalah pertarungan identitas, baik dalam level individu hingga masyarakat. Yang Barat dan Timur, yang sekuler dan fundamentalis, yang modernis dan primitif, hingga mungkin saja kelak yang cakep akan berhadapan dengan yang buruk rupa. Sekiranya gambaran seperti itulah yang dituliskan oleh Samuel P. Huttington dalam  The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order.

Pergesekan identitas memantikkan label dalam stigma dan diskriminasi. Stigma disebut dengan sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang, sedangkan diskriminasi adalah perilaku yang dilakukan. Konon, kata Erich Fromm, inilah yang bikin lahir sikap agresif yang mematikan disebut nekrofilia. Sikap itu semacam ingin membumi-hanguskan atau menganggap kesalahan terhadap seseorang yang berbeda dari dirinya. Bisa dibilang stigma dan diskriminasi ini penyebab dari identitas yang soliter–yang menurut Amartya Sen rentan menyebabkan sikap intoleransi, sampai terorisme.

Itu diderita oleh rekan yang terpapar HIV/AIDS, rekanan yang sebelumnya bisa dibilang gadis baik-baik itu mendapatkan “warisan” penyakit dari mantan suaminya yang junkie. Terpaksalah si doi dianggap sebagai wanita pendosa dan nista oleh lingkungannya. Seorang kawan dicap sesat di lingkungannya karena rekan ini bermazhab Islam tertentu yang berbeda praktek ibadahnya dari kebanyakan. Ada juga kisah tetangga waria yang senantiasa mendapat olok–olokan dan pelecehan dari sekitar.

Ada juga pihak sebaliknya, yaitu barisan yang mengklaim diri “ahli agama” ataupun baru belajar dan menghapal satu sampai dua ayat langsung menyerang dan seakan mengovergeneralisasikan para asing ketika pemberitaan dengan embel-embel agama yang dianutnya pada korbannya. Bahkan kadang para pembaca novel Salman Rushdie atau pendengar musik keras dan yang selalu diidentikkan dengan adanya simbol-simbol tertentu harus mengelus dada karena dianggap antek pendukung thagut yang sesat.

Yang paling baru adalah serangan terorisme di Paris.  Menurut  Al-Jazeera, retorika anti-Muslim menguat drastis di media sosial di Prancis beberapa hari terakhir. Yang paling berkerut adalah seorang rekan yang sedang PDKT–sebut saja pendekatan–dengan gadis Prancis lewat media sosial, dan akhirnya si rekan dihapus dalam pertemanan sebuah medsos. Kemungkinan karena si rekan memakai nama “Muhammad” di depan namanya.

Sekiranya terlalu banyak kisah yang dapat kita dengar seputar sikap intoleransi. Kita masih hidup dalam cengkraman stigma dan diskriminasi. Semuanya senantiasa berakar dari pandangan dunia tertutup. Mengutip Nirwan A. Arsuka pada pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2015, bahwa pandangan dunia ini berupa warisan nenek moyang ataupun ajaran agama yang perlu dievaluasi, diistirahatkan, atau di-ijtihad-kan.

Saya percaya pandangan dunia yang terbuka melahirkan sikap egaliter dan persamaan akan sesama manusia. Pandangan dunia terbuka juga mengantarkan pada hak asasi manusia dan kekayaan gagasan, dan pandangan dunia terbuka kelak melahirkan kebesaran sains dan peradaban.

Sebagai seorang biasa, bukan ilmuwan ataupun tokoh, toleransi dapat tercapai bila pandangan dunia kita menjadi inklusif dan terbuka. Terlalu muluk rasanya jika merumuskan suatu konsep ataupun kebijakan tanpa kembali pada diri sendiri dahulu.

Membuka wawasan dan cakrawala utamanya karena setiap fenomena ataupun penyakit di masyarakat tentu memiliki banyak yang butuh penjelasan, analisa, dan pengamatan terlebih dahulu. Para bro yang melakukan stigma dan diskriminasi disebabkan akan ketidaktahuan atau ketidaksiapan mereka menerima perubahan masyrakat.  Benturan identitas bisa dikatakan niscaya terjadi, selebihnya untuk membendung efek buruk darinya, salah satunya memperkuat dan merayakan toleransi akan perbedaan.

Share:

Aku Masih Belajar


Aku belajar, bahwa aku tidak dapat memaksa orang lain mencintai_ku, aku hanya dapat melakukan sesuatu untuk orang yang aku cintai

Aku belajar, bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dan hanya beberapa detik saja untuk menghancurkannya

Aku belajar, bahwa sahabat terbaik bersama_ku dapat melakukan banyak hal dan kami selalu memiliki waktu terbaik

Aku belajar, bahwa orang yang aku kira adalah orang yang jahat justru adalah orang yang membangkitkan semangat hidup_ku kembali serta orang yang begitu perhatian pada_ku

Aku belajar, bahwa persahabatan sejati senantiasa tumbuh walau dipisahkan oleh jarak yang jauh, beberapa diantara_nya melahirkan cinta sejati

Aku belajar, bahwa jika seseorang tidak menunjukkan perhatian seperti yang aku inginkan bukan berarti bahwa dia tidak mencintai_ku

Aku belajar, bahwa sebaik-baiknya pasangan itu, mereka pasti pernah melukai perasaan_ku dan untuk itu aku harus memaafkanya

Aku belajar, bahwa aku harus belajar mengampuni diri sendiri dan orang lain, kalau tidak mau dikuasai perasaan bersalah terus-menerus

Aku belajar, bahwa lingkungan dapat mempengaruhi pribadi_ku, tetapi aku harus bertanggung jawab untuk apa yang telah saya lakukan

Aku belajar, bahwa dua manusia dapat melihat sebuah benda, tetapi terkadang dari sudut pandang yang berbeda

Aku belajar, bahwa tidaklah penting apa yang saya miliki, tetapi yang penting adalah siapa saya ini sebenarnya

Aku belajar, bahwa tidak ada yang instant atau serba cepat di dunia ini, semua butuh proses dan pertumbuhan, kecuali aku ingin sakit hati

Aku belajar, bahwa aku harus memilih apakah menguasai sikap dan emosi atau sikap dan emosi itu yang manguasai diri_ku

Aku belajar, bahwa aku punya hak untuk marah, tetapi itu bukan berarti aku harus benci dan berlaku bengis

Aku belajar, bahwa kata-kata manis tanpa tindakan adalah saat perpisahan dengan orang yang aku cintai

Selamat belajar…

Love doesn’t make the world go round, Love is what makes the ride worth while.
Share:

Aktivis Musiman

Menarik membaca tulisan M Jais Rambong (MJR) dengan judul ”Mempertanyakan Peran Mahasiswa” di Opini Serambi Indonesia, (4/7/07). Sebagai mahasiswa mungkin MJR telah mengalami apa yang diungkapkannya. Di satu sisi mahasiswa harus berperan sebagai agen perubahan, namun disisi lain mahasiswa harus berhadapan dengan sistem akademik yang lebih mementingkan target ketimbang peran dan kualitas mahasiswanya. Ditambah lagi mahasiswa harus mempertanggung jawabkan kegiatan kuliah kepada orang tuanya.

Namun ungkapan JRM, bahwa mahasiswa sekarang telah disibukkan oleh kemodernan zaman, seperti berceria diwarung kopi, Cafe-cafe dan berleha-leha di jalan-jalan merupakan realitas yang harus diakui. Maka tidak mengherankan bila mahasiswa sebagai kaum intelektual yang punya tanggung jawab kepada masyarakat dan bangsa berubah menjadi kaum oportunis yang hanya memikirkan kepentingan dirinya saja.

Sebenarnya banyak peran yang dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai kaum Intelektual serta yang bertanggungjawab kepada masyarakat?. Terutama memperjelas tujuannya kuliah. Apakah kuliah hanya untuk mencari kerja atau mencari ilmu?. Mungkinkah mahasiswa ”Belajar sambil berjuang dan berjuang sambil belajar” seperti terukir di Tugu Simpang Mesra?.

Pada dasarnya peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa adalah kembali kepada Tri Darma Perguruan Tinggi (TDPT). Yaitu, Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Tetapi selama ini ada kesalahan dalam memahami TDPT. Banyak mahasiswa memahami TDPT secara hirarki bukan secara universal.

Bila TDPT di pahami secara hirarki, maka otomatis mahasiswa hanya berkewajiban untuk menyelesaikan pendidikan dulu di Perguruan Tinggi (PT), setelah itu baru berpindah ke level kedua yaitu Penelitian. Sedangkan Pengabdian dianggap sebagai level terakhir setelah mereka selesai kuliah.

Padahal pengabdian tidak harus menunggu selesai kuliah. Membela dan memperjuangankan kepentingan rakyat ketika masih kuliah, juga bagian dari pengabdian. Jadi pengabdian bukan hanya mengajar seperti Guru atau bekerja di kantor pemerintah saja. Tetapi terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum, juga bagian dari pengabdian.

Karena tuntutan akademik pula, banyak mahasiswa kadang malas berorganisasi. Bila berorganisasi mereka takut terganggu kuliahnya. Padahal di organisasi, kesempatan untuk mengabdi sangat terbuka. Tidak mengherankan bila yang sibuk di organisasi secara penuh berakibat terlambat selesai kuliah. Ada juga yang mampu menyelesaikan kuliah sesuai dengan target. Namun semua itu sangat tergantung dalam pengaturan waktu.

Walaupun demikian, kualitas mahasiswa yang berorganisasi jauh lebih baik bila dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi. Karena mahasiswa yang berorganisasi, mereka mendapatkan ilmu lebih di organisasi. Banyak hal yang dipelajari di organisasi tetapi tidak didapatkan dibangku kuliah. Disinilah letak kelebihannya.

Banyak pula mahasiswa yang aktif di organisasi tetapi kurang mendapat perhatian dari pihak Fakultas maupun Universitas. Misalnya, ketika mengikuti kegiatan organisasi keluar daerah, mahasiswa dengan bangga membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah.

Tetapi ketika kembali ke Fakultas, ternyata Dosen tidak memberi konpensasi selama mengikuti kegiatan tersebut. Padahal mahasiswa membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah. Hal seperti itu sering dialami sejumlah mahasiswa.

Seharusnya ada perhatian terhadap mahasiswa yang ikut kegiatan kemahasiswaan di luar daerah. Karena mereka pergi mewakili Fakultas, Universitas dan Daerahnya. Jadi sangat pantas di beri konpensasi. Bukan justru dipersulit dan disalahkan gara-gara mengikuti kegiatan tersebut.

Namun sangat berbeda ketika Dosen nyambi di luar (meminjam istilah MJR). Dengan mudahnya kegiatan kuliah ditiadakan atau diberi tugas membuat makalah, Paper dan Resume. Dosen tinggal bilang, ”Ini buku wajibnya, pindahkan isi buku kedalam bentuk Makalah, Paper atau Resume”. Suatu perintah yang sangat gampang di ucapkan tetapi sangat membosankan bagi mahasiswa, karena hanya bertugas untuk memindahkan saja.

Aktivis Musiman

Ungkapan ”Aktivis musiman”, terinspirasi dari tulisan Eep Saifullah Fatah tentang ”Oposisi Musiman” di salah satu media nasional. Istilah Oposisi Musiman, muncul sebagai tanggapan atas pro-kontra hak interpelasi di DPR RI.

Namun dalam dunia pergerakan mahasiwa dan berbagai aktivis saat ini. Ada kebiasaan baru dalam memulai aksinya. Seperti peringatan hari buruh, lingkungan hidup, Pendidikan, HAM, AIDS dan lain-lain. Ketika memperingati momentum-momentum tersebut, berbagai aktivis turun kejalan mengelar berbagai aksi. Habis momentum pudarlah aksi dan realisasinya.

Padahal pergerakan mahasiswa tidak hanya sebatas itu. Aktivis mahasiswa dan aktivis lain perlu menempatkan posisinya sebagai pengontrol dalam berbagai persoalan. Agar setiap kebijakan pemerintah tidak merugikan kepentingan umum. Peran yang berkelanjutan menjadi bukti, bahwa peran kontrol mahasiswa masih aktif.

Kalangan aktivis perlu mengawasi tindakan perusakan hutan setiap waktu, tidak harus menunggu hari lingkungan hidup atau peringatan hari-hari yang lain. Karena fungsi sosial kontrol tidak mengenal momentum. Kapanpun ada ketidakberesan maka fungsi tersebut bekerja secara cepat.

Kebiasaan ini bukan hanya terjadi dikalangan aktivis tetapi sudah menjadi tradisi di Pemerintahan. Lihat saja ketika hari lingkungan hidup, semua kantor dinas dihiasi dengan spanduk tentang lingkungan hidup. Mulai Presiden sampai camat, ikut mencanangkan penghijaun dengan ribuan pohon. Selesai serimonial, besok atau lusa giliran kambing atau lembu yang memakan tanaman tersebut. Karena kegiatan penghijaun hanya sebatas seremonial tahunan saja, ia tidak berlanjut sampai membuahkan hasil yang bermanfaat.

Padahal banyak hal yang memerlukan peran mahasiswa di dalamnya. Sebut saja dengan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Mahasiswa perlu mengawasi agar rekonstrusi tidak menjadi lahan memperkaya diri. Tidak perlu menunggu momentum tsunami atau ulang tahun BRR.

Kedepan mahasiswa perlu berperan lebih banyak lagi dalam berbagai persoalan. Fungsi kontrol perlu menjadi seragam harian mahasiswa dan para aktivis lainnya. Bukan seragam musiman. Jika hanya sebatas seragam musiman, berarti mahasiswa dan aktivis lainnya sama saja dengan aktivis musiman. Karena peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat. Masa depan negeri ini sangat membutuhkan keterlibatan mahasiswa dengan pemikiran cemerlangnya dan aksi-aksi yang sesuai dengan aturan.***
Share:

Realistis Apa Idealis??

Realistis dan idealis 
banyak orang yang bilang, realistis itu lawannya idealis,,, 

apa iya ya??? 
bukannya idealis itu cabangnya realistis??
apa sih maknanya realistis?
semua cara pandang orang yang berdasarkan
realita yang terjadi?
oke,,, berarti dasarnya realita ya,...

orang selalu bilang "realistis donk"
supaya kita melihat kembali realita yang terjadi,,
sekarang apa maknanya idealis?
semua cara pandang orang yang berdasarkan
bagaimana keadaan ideal yang seharusnya terjadi?
oke,,, berarti dasarnya keadaan ideal ya,,,


orang selalu bilang "hah,,cuma idealisme doank"
supaya kita mempertimbangkan bahwa
itu hanya kata-kata indah, bukan realita sesungguhnya.

oke,,,, sekarang ane tanya,,,

klo misal realitanya baik seperti apa yang seharusnya terjadi?
realita yang terjadi seperti apa realita yang ideal,

apa iya idealis masih berseberangan dengan realistis?
 
bukannya idealis itu cabangnya realistis?  
realistis yang baik, itulah idealis.   

so masa sih,  
trigonometri dianggap berseberangan dari matematika? anatomi menyimpang dari biologi? akuntansi menyimpang dari ekonomi?
kenapa orang bilang "realistis aja lah,,," 
seakan relita selalu lebih rendah dari apa idealnya,, 
apa iya??
kenapa sih harus pakai kata "realistis", bilang aja "pesimis,,,"

merasa ga mungkin merubah realita
yang belum sesuai dengan idealnya,
lalu menurunkan motivasi orang lain
untuk mengubah realita yang belum ideal
menjadi realita yang ideal dengan mengatakan
" realistis aja lah,,,,"

hah,,,bilang "pesimis" pake "realistis,,,"
ga beda sama yang bilang "pelacur" pake "pekerja sex komersial"
klo emang realitanya sudah ideal,
mo bilang realistis, mo bilang idealis,
sama aja kan? semua baik.

ayolah,,,,
realita itu siapa sih yang bikin?
klo kita hidup menyesuaikan realita,,,
hahaha,,,kebalik!!

realita itu terbentuk
karena menyesuaikan kehidupan kita,,,
kalau kehidupan kita baik, realita baik,,,
kalau kehidupan kita buruk. realita buruk,.,
karena kehidupan kita yang mengisi realita
iya kan?
apa kebalik?
realita buruk, maka kehidupan kita buruk,,
realita baik, maka kehidupan kita baik....

iya? Hahahaha =D
jadi bunglon aja sana,,,, jangan jadi manusia. 

Hahaha,, eeee' ,,,,
so, masih bilang idealis ga bisa sejalan dengan realistis?
klo masih, selamat anda masih berada di dunia waras,
dan anda masih waras,,,,,
so, have fun with your reality,,, =D
Share: