Golongan Absent Serta Politik Transaksional

Search: Google
KARUT marutnya tahapan penyelenggaraan pemilihan mahasiswa (pemilwa) di tahun kemarin, kacaunya daftar pemilih tetap (DPT) mahasiswa menjadi hal tidak terpisahkan dari suksesnya pemilwa. Temuan ratusan pemilih tak bertuan di sejumlah fakultas dapat mengancam netralitas penyelenggara pemilwa. Ekses dari akumulasi itu, jumlah golongan putih (golput/absent) dalam pemilwa dipastikan bertambah.

Bertambahnya jumlah absent menjadi tolok ukur kesuksesan penyelenggaraan pemilwa. Semakin banyak calon pemilih yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), sangat dimungkinkan gugatan hasil pemilwa akan bermunculan, terutama menggugat penyelenggara pemilwa karena dinilai tidak sukses menjalankan tugasnya.

Bertambahnya jumlah absent karena calon pemimpin tidak memiliki standar kualitas. Masih banyak elite mahasiswa yang hanya ikut-ikutan, bahkan niatnya pun untuk mencari muka (pencitraan), penguasaan. Proses pencalonan yang dilakukan partai politik mahasiswa tidak diseleksi, bahkan hanya melengkapi biodata para calon dan mengikuti organisasi ekstra kampus apa? (bahkan ini yang menjadi syarat utama).

Kalaupun sebagian mereka terpilih dan dipercaya, tetapi setelah terpilih mereka tidak dapat berbuat banyak menjalankan peran dan fungsinya selaku wakil mahasiswa lainnya.

Kecakapan dan kualitas sangat kurang dalam menjalankan tugasnya. Rendahnya kemampuan mengapresiasi aspirasi konsituen menjadi salah satu penyebab tingginya angka absent. Keraguan terhadap calon mahasiswa menambah beban KPM sebagai penyelenggara pemilwa. Pertanyaannya, apakah kondisi ini terus dibiarkan begitu saja? Saya kira perlu langkah-langkah strategis untuk memperkecil angka absent. Harus ada tekanan dari partai politik, para calon mahasiswa yang direkrut memiliki integritas dan kemampuan yang baik, termasuk dalam melakukan dialog persuasif kepada konsituennya.

Langkah lain, partai politik mahasiswa harus mengubah model kerjanya, begitu juga para politisi mahasiswa tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sudah saatnya elite politik mahasiswa berpikir untuk mencedaskan pemilih melalui sosialisasi pemilwa. Bukan malah sebaliknya, ikut membodoh-bodohi mahasiswa melalui politik transaksional. Politik transaksional yang dilakukan kebanyakan politisi mahasiswa merupakan potret buram demokrasi kampus.

Mahasiswa lain dicekoki hal yang berbau pragmatis dan transaksional sehingga hasilnya pun menjadi tidak sehat. Politik transaksional yang terjadi belakangan ini memperburuk demokrasi kampus. Maka tak heran pula, angka absent setiap pemilwa terus bertambah. Mahasiswa yang sering berpikir pragmatis dan inilah yang mencederai demokrasi kampus menjadi demokrasi kebablasan transaksional.
Share: