Belajar Mencintai Kritik

Sumber gambar: publicspeaking.co.id

Dialog yang jujur dan terbuka perlahan mengajarkan kita mencintai kritik. Tentu tidak mudah karena bertolak belakang dengan naluri alter ego kita yang narsis dan senangnya dipuji sehingga alergi dengan kritik.

Padahal kritik menstimuli filosofi continuous improvement atau kaizen. Kualitas produk semakin sempurna adalah berkat keterbukaan menyikapi kritik. Lantas kenapa kita enggan menggunakan kritik untuk perbaikan diri kita dan pemikiran-pemikiran kita?
Bukankah lebih pas setiap pemimpin berterima kasih terhadap anggota atau orang yang dipimpinnya yang telah sudi meluangkan waktu menyampaikan mengkritik? Kenapa sekali-sekali tidak terpikir terbalik, memberi kue atau bunga kepada yang mengkritik kita misalnya?

Saat kita telah bisa mencintai kritik, kita tak pernah lagi ragu menyampaikan pandangan kita, sekontroversi apapun itu sepanjang kita niatkan untuk kebaikan. Itu akan menjadi bagian dari karakter kita. Kita akan menyadari bahwa kritik itu merupakan buah pikir yang dipersembahkan publik agar pemikiran atau program yang dicanangkan pemimpin berhasil semakin baik.
Ini bukan perkara main-main. Ini karakter yang perlu kita bangun pada generasi saat ini dan terus dipertahankan saat memimpin suati lembaga atau organisasi yang kita cintai. Karakter ini akan membuat pemimpn semakin terbuka dan jauh dari sikap otoriter dan antikritik. Pemimpin akan terus tumbuh dan berkembang bersama-sama bila konsisten mampu memanfaatkan kritik untuk kebaikan dan perbaikan.

Pemimpin yang cepat mengakui kesalahannya, segera melakukan koreksi dan mengumumkan kesalahannya di depan umum, tanpa berpretensi menyalahkan pihak lain atau masa lalu adalah pemimpin dengan kepribadian menakjubkan. Pastilah ia akan dicintai, karena dihatinya hanya mencintai kebenaran dan kebaikan.

Sudahkah kita memilikinya?
Share: