Kata itu tak pernah punya makna yang berarti buat saya. Sejarah akan terulang, dengan pelaku yang berbeda, output-nya juga berbeda, so what? Njuk ngopo?...... kira-kira begitu pikir saya.
Sebelum masuk ke tema ‘sejarah’, saya sepertinya tidak tahan kalau tidak berkomentar tentang bingkai di mana ‘sejarah’ ini bergolak. Secara implisit dan eksplisit,bacaan ini banyak meletakkan titik persoalan dari kacamata bingkai Indonesia. Yaitu sebuah negara di Asia Tenggara, kenyang dijajah, merasa merdeka, dan merasa lahir tak lama setelah bom atom meledak di negeri salah satu penjajahnya.
Setelah merdeka. Melalui pendidikan dasar, menengah, sampai tinggi, di benak kita ter-bangun persepsi bahwa penjajahan selalu identik dengan penindasan.
Dan penindasan terkonotasi dengan perbuatan sewenang-wenang untuk memaksakan kehendak. Hmm...
Dan penindasan terkonotasi dengan perbuatan sewenang-wenang untuk memaksakan kehendak. Hmm...
Jadi, kalau memaksakan kehendak dengan alasan yang ‘mulia’ dan tidak terlihat sewenang-wenang, kata ‘memaksakan kehendak’ menjadi tidak terlalu ‘menjajah-menjajah’ amat,‘gitu?
Di sini terlihat perkembangan paradigma yang sangat menarik. Ada rumus baru untuk menjajah secara ‘halal’, menjajah yang bebas hujatan, bahkan menjajah dengan sebuah cara, sehingga yang dijajah tak merasa terjajah. Yaitu memaksakan kehendak dengan motif atau alasan yang (seolah-olah) tepat alias mulia. Cara kekerasan untuk menjajah sudah kuno dan terlalu kasar.
Sayangnya, cara pandang kita sendiri belum dirombak untuk memahami fenomena baru ini. Padahal seharusnya tidak terlalu sulit untuk menilai sesuatu sebagai bentuk penjajahan atau bukan. Yaitu menilai kembali apa yang digemborkan sebagai ‘mulia’, yang menjadi dasar ‘pemaksaan terselubung’ tersebut. Menilai sendiri! Tidak hanya mengadopsi.
Beberapa buku yang pernah saya baca memaksa saya membuka catatan-catatan lama tentang matinya industri minyak kelapa, garam dan industri-industri ‘asli’ Indonesia. Sangat tidak ingin saya menyimpulkan dengan gegabah dari hasil penggalian-penggalian tersebut, tetapi sering sekali kesimpulan-kesimpulan itu datang sendiri seperti curahan hujan di mendung yang kelam (maaf kalau lebay). Bagaimana kedaulatan yang saya percayai sejak saya bisa ikut upacara bendera dulu, ternyata tak lebih bisa dipercayai dari cerita kancil mencuri timun. Cerita anak-anak belaka.
Motif saya sederhana, bukan teori konspirasi atau pelarian anak bangsa yang frustrasi(walaupun sesungguhnya agak frustrasi juga). Saya hanya tidak mau dijajah lagi. Apa pun bentuknya: fisik, ideologi, ekonomi, atau entah nanti apa lagi. Dan langkah pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi. Jangan-jangan, selera musik yang saya dengarkan pun hasil dari penjajahan secara halus. Lantas apa yang menjadikan diri kita adalah kita? Ini, jujur saja, meresahkan saya.
Bukan tentang pro dan kontra, tetapi dalam mencoba memandang sesuatu dari sudut yang lebih lebar, dan melihat pada lapisan yang lebih dalam.
Terutama tentang carut-marutnya perdebatan sikap kita terhadap rokok; maaf, terhadap kretek.
Terutama tentang carut-marutnya perdebatan sikap kita terhadap rokok; maaf, terhadap kretek.
Dari pembahasan tentang kretek ini saja, saya merasa diberi peer besar. Apakah tugas saya sebagai generasi (yang merasa) muda, benar-benar mengisi kemerdekaan? Atau sebenarnya kita malah belum merdeka? Apakah perjuangan menuju kemerdekaan itu sendiri belum selesai? Karena definisi penjajahan pun dinamis dan tidak pada satu
sudut, cara, dan jarak pandang saja.
Pertanyaan ini jelas mengganggu saya.
sudut, cara, dan jarak pandang saja.
Pertanyaan ini jelas mengganggu saya.