Di Masa Itu

Hari ini sehabis Magrib aku bertemu dengan guruku, guru disaat membinmbingku waktu di bangku Tsanawiyah. Cukup lama kita berbincang ditengah Alon-alon Kabupaten Blora, tapi ada bebrapa perbincangan yang cukup membuat fikiranku gusar sampi saat ini. Saat aku ditanya oleh guruku, “Pernah engkau merasa ingin kembali ke masa lalu untuk merubah suatu keadaan?” ia menatapku, bukan tatapan yang menginginkan sebuah jawaban segera, tapi tatapan yang menginginkan kejujuran.

Aku mengangguk, wajahku tertunduk. “Tentu, tentu aku pernah menginginkan tentang semua yang pernah aku lakukan, ini suatu kodrat yang tak satupun manusia tak merasakannya” umpatku dalam hati sambil mencabut rumput yang ada di sekelilingku.

Guruku tersenyum sambil menatapku. Ia terdiam cukup lama, seakan ia mendengar jelas umpatan yang aku katakan barusan dalam hati. “Tapi, sungguh ia mampu mendengar apa yang aku umpatkan barusan?” pertanyaan itu tak henti-hentinya menggaung dalam kepalaku.

Lalu ia menarik nafas bersiap untuk berbicara “Ini bukan tentang agama yang ingin ku sampaikan, bukan tentang bahwa kita harus menyesali kesalahan yang ada dalam masa lalu kita dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi dikemudian hari” ia tertahan, nafasnya sedikit tersengal, sudah lama guruku tak berbicara panjang lebar.

“Aku sudah bertemu banyak orang yang terlalu larut dalam kesedihan mengenai masa lalunya, ia terjerembab namun tak mampu bangkit, ia berusaha namun tak ada yang bisa memapahnya. Aku ingin memberi tahu engkau tentang masa lalu dari pengalamanku” Ia menghembuskan, lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk berbicara.

“Pernah aku tertegun pada masa lalu, aku ingin kembali pada masa itu karena bagiku itu masa-masa yang sangat indah dan menyenangkan. Masa saat tubuhku ini masih kuat untuk berjalan jauh, saat aku masih bisa menatap istriku tercinta setiap pagi saat aku membuka mata, saat aku melihat anak-anakku tumbuh dewasa. Namun itu sudah menjadi masa lalu”. Ia berkaca-kaca, terlebih saat bercerita tentang istrinya yang meninggal 4 tahun yang lalu.

Ia menatap pohon beringin yang berdiri tak jauh dari ia duduk sekarang, ia menatap dengan seksama. Lalu ia menunjuk pohon itu “Engkau lihat pohon beringin itu, semakin hari pohon ini semakin tinggi, hingga ia tak mampu lagi tumbuh tinggi. Tapi ia penuh dengan pengalaman saat berusaha tumbuh, ia menjadi lebih kuat, makin hari dahannya makin lebat, batangnya makin kokoh, akarnya menghujam makin dalam. Ia lebih kuat”

“Belajarlah dari pohon beringin itu, ia tumbuh besar dan tak pernah berharap kembali ke masa lalu. Karena masa lalu adalah kondisi yang lemah, dan saat ini ia semakin menjadi lebih kuat. Beringin selalu belajar untuk memperkuat dirinya setiap hari” Ia menghela nafas, semakin cepat saja guruku ini bernafas.

“Ingat Ka, aku adalah gurumu yang mengagumi semua kemampuanmu, tapi, jika manusia ingin kembali pada masa yang sudah terlewati, ia belum sepenuhnya memahami bahwa masa itu tak lebih kuat dari masa ia sekarang berada. Yang perlu ia lakukan adalah mensyukuri ia masih diberikan kesempatan untuk menciptakan masa lalu sesuai keinginan masa depannya” Guruku menghembuskan nafas tanda ia menyudahi obrolan malam ini, lalu ku amati ia menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, ada dua cincin di jari itu.

Aku terdiam, masih terdiam sambil mengamati guruku dan sesekali mencabut rumput sekelilngku dengan perasaan gusar.
Share: